Jumat 09 Feb 2018 13:19 WIB

Jimly: Pasal Penghinaan Presiden Jadi Kemunduran Peradaban

Aksi unjuk rasa pun bisa dipidana dengan menggunakan pasal penghinaan presiden

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Bilal Ramadhan
Jimly Asshiddiqie
Foto: Yudhi Mahatma/Antara
Jimly Asshiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat tengah merancang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Rancangan ini diharap bisa menggantikan KUHP yang selama ini digunakan pemerintah Indonesia.

(Baca: Jimly Sebut Pakar Hukum Feodal Dukung Pasal Penghinaan Presiden)

Dalam rancangan ini rencananya akan dimasukan mengenai pasal penghinaan Presiden. Artinya siapapun yang dianggap melakukan penghinaan kepada Presiden akan dipidanakan.

Ketua umum Ikatan Cendikiawan Muslim indonesia (ICMI), Jimly Asshidddiqie mengatakan, jika pasal ini disahkan maka akan menjadi gambaran bahwa peradaban Indonesia bukannya maju, justru kembali ke masa lalu. Sebab pasal ini sebenarnya buatan pemerintah kolonial Belanda yang tidak ingin penguasanya diprotes oleh rakyat.

Pasal ini pun sebenarnya sudah tidak pernah digunakan pada pemerintahan Belanda dan sejumlah negara Eropa. Dengan kata lain, ketika Indonesia kembali menghidupkan pasal ini, maka hal tersebut adalah sebuah kemunduran.

"Pasal ini memperlihatkan bahwa kita akan kembali ke masa lalu, di mana penguasa mencari seribu satu alasan untuk pembenaran mereka," ujar Jimly, Jumat (9/2).

Jimly menerangkan di Eropa yang negaranya sudah sangat maju mereka tidak menerapkan pasal ini. Contohnya ketika banyak orang berdemonstrasi dan melakukan penghinaan dengan menginjak foto pejabat negara, mereka tidak lantas dipidanakan.

Sebab negara pun tahu bahwa aksi itu merupakan ekspresi kekesalan terhadap kinerja yang dijalankan. "Nah, tinggal bagaimana apakah pejabat atau presiden tersebut merasa terhina dengan demo itu. Ini ada kaitannya dengan peradaban politik sebuah negara," ujar Jimly.

Sebelumnya, anggota Panitia Kerja Rancangan Undang Undang Revisi Kitab Undang undang Hukum Pidana Arsul Sani mengakui semua fraksi dan DPR setuju jika pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden kembali masuk dalam RUU RKUHP. Namun kata Arsul, belum semua fraksi menyepakati rumusan pasal tersebut terkait kategori delik aduan atau delik khusus serta ancaman pidana diturunkan di bawah 5 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement