Kamis 08 Feb 2018 17:42 WIB

Fadli Nilai Pasal Penghinaan Presiden Bisa Jadi Pasal Karet

Wakil Ketua DPR khawatir pasal tersebut disalahgunakan.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon.
Foto: DPR RI
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai, pasal penghinaan presiden maupun wakil presiden yang kembali dimasukkan dalam Rancangan Undang Undang Kitab Undang undang Hukum Pidana (RUU RKUHP) berpotensi menjadi pasal karet. Nantinya pasal tersebut cenderung disalahgunakan untuk menjerat pihak-pihak yang dianggap mengancam.

"Pasal penghinaan presiden akan menjadi pasal karet. Ini pasal kolonial yang harusnya sudah dihapus. Sebaiknya itu tidak perlu dimasukkan dan diendorse atau lagi dipaksakan (masuk RKUHP)," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (8/2).

Ia menyebut kemunduran demokrasi jika pasal tersebut kembali dimasukkan dalam RKUHP. Terlebih pasal dengan substansi yang sama di KUHP juga pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). "Kalau keputusan MK final dan mengikat harusnya tidak dimasukkan lagi. Ada orang yang takut dikritik intinya. Rakyat mengkritik presiden itu biasa, kecuali menghina dan memberi informasi yang tidak benar. Kalau mengkritik, apalagi untuk DPR, itu tugas konstitusional," katanya.

Adapun pasal penghinaan presiden dalam pembahasan ditingkat Timus RKUHP, diatur pada pasal 239 ayat (1)  disebutkan setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp500 juta).

Sementara ayat (2) menyebut tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Namun pasal ini sempat mengalami perdebatan oleh sejumlah anggota Fraksi di timmus RUU RKUHP sebelum disepakati bersama Pemerintah untuk dibahas di tingkat Panja. Hal ini karena ada permintaan agar pasal penghinaan presiden diubah menjadi delik aduan, bukan delik umum sebagaimana rumusan dari Pemerintah.

Namun pihak Pemerintah bersikukuh beralasan bahwa penghinaan presiden dan wakil presiden juga mengacu pada pidana pasal penghinaan kepala negara asing di Indonesia yang juga delik umum, sehingga disejajarkan. Ketua Tim Pemerintah Pembahasan RUU RKUHP Enny Nurbaningsih menegaskan aturan pidana pasal penghinaan presiden tidak melihat siapa presidennya saat ini.

"Kalau kita lihat penghinaan ini memang sudah termasuk sesuatu yang sebetulnya pidana. Hanya kalau kita lihat penggunaan ini untuk presiden dia memang kita sudah buat penjelasan yang cukup panjang, kita tidak menempatkan sebagai delik aduan untuk Presiden tetapi kalau kemudian dipersoalkan tadi mengenai ancamannya apakah bisa diturunkan sangat bisa pak," kata Enny pada rapat RKHUP Senin lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement