REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, menilai masih adanya pasal mengenai penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) merupakan bentuk kemunduran demokrasi sehingga harus ditarik. "Kalau pasal itu masih ada, sesungguhnya kemunduran yang luar biasa dan harus dihentikan," kata Fahri di Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan, pasal penghinaan Presiden dan Wapres itu merupakan peninggalan Belanda yang ditujukan untuk penghina kepada pemimpin kolonial, seperti Ratu Belanda dan Gubernur Jenderal. Fahri mengatakan, pasal itu digunakan bukan di Belanda, tapi di negara-negara jajahan untuk melindungi kekuasaan dari rakyat yang terjajah.
"Jadi, sungguh ini kemunduran yang luar biasa karena itu harus dihentikan," ujarnya.
Menurut dia, kalau pasal tersebut tetap dipaksakan, itu akan memutar balik jarum jam peradaban demokrasi Indonesia jauh ke belakang. Dirinya berharap Presiden Jokowi paham bahwa ini kesalahan yang fatal.
Sebelumnya, Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Komisi III DPR tetap memasukkan pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan delik aduan, berbeda dengan pasal yang sudah ada di KUHP lama dan sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Yang berbeda itu sifat deliknya, sebelumnya delik umum dan biasa menjadi delik aduan," kata anggota Panja RKUHP, Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/2).
Arsul mengatakan, pasal penghinaan pada Presiden dan Wakil Presiden perlu dijelaskan kepada masyarakat secara jelas bahwa secara norma dasar akan menjadi sesuatu yang berbeda dengan pasal di KUHP sekarang yang sudah dibatalkan MK. Dia mengatakan, kalau tuntutan pasal tersebut harus dihilangkan, tidak masuk akal karena ada bagian lain dari KUHP yang mengatur mengenai pemidanaan terhadap kepala negara atau kepala pemerintahan negara asing yang sedang berkunjung ke Indonesia.