Rabu 07 Feb 2018 15:40 WIB

Pasal Penghinaan Presiden, Fahri: Kembali ke Zaman Penjajah

Wakil Ketua DPR menilai masuknya pasal penghinaan presiden di RKUHP adalah kemunduran

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Fahri Hamzah
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Fahri Hamzah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai, penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Undang Undang Revisi Undang undang Kitab Hukum Pidana sebagai kemunduran. Hal ini juga kata Fahri, seperti kembali pada era zaman kolonial Belanda.

Sebab, pasal penghinaan presiden di KUHP sebelumnya merupakan produk kolonial Belanda yang juga pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. "Pasal ini memang digunakan bukan di Belanda, tapi di negara-negara jajahan, jadi kalau pasal ini hidup itu sama dengan Presiden itu menganggap dirinya penjajah dan rakyat itu yang dijajah, jadi sungguh ini kemunduran yang luar biasa," ujar Fahri saat dikonfirmasi wartawan pada Rabu (7/2).

Karenanya, ia menilai pasal tersebut harus dihentikan karena kemunduran demokrasi yang sudah berjalan. "Karena ini memutarbalik jarum jam peradaban demokrasi kita jauh ke belakang, mudah-murahan Pak Jokowi paham bahwa ini kesalahan yang fatal," kata Fahri.

Adapun pasal penghinaan presiden dalam pembahasan ditingkat Timus RKUHP, diatur pada pasal 239 ayat (1)  disebutkan setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp500 juta).

Sementara ayat (2) menyebut tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Namun pasal ini sempat mengalami perdebatan oleh sejumlah anggota Fraksi di timmus RUU RKUHP sebelum disepakati bersama Pemerintah untuk dibahas di tingkat Panja. Hal ini karena ada permintaan agar pasal penghinaan presiden diubah menjadi delik aduan, bukan delik umum sebagaimana rumusan dari Pemerintah.

Namun pihak Pemerintah bersikukuh beralasan bahwa penghinaan presiden dan wakil presiden juga mengacu pada pidana pasal penghinaan kepala negara asing di Indonesia yang juga delik umum, sehingga disejajarkan. Ketua Tim Pemerintah Pembahasan RUU RKUHP Enny Nurbaningsih menegaskan aturan pidana pasal penghinaan presiden tidak melihat siapa presidennya saat ini.

"Kalau kita lihat penghinaan ini memang sudah termasuk sesuatu yang sebetulnya pidana. Hanya kalau kita lihat penggunaan ini untuk presiden dia memang kita sudah buat penjelasan yang cukup panjang, kita tidak menempatkan sebagai delik aduan untuk Presiden tetapi kalau kemudian dipersoalkan tadi mengenai ancamannya apakah bisa diturunkan sangat bisa pak," kata Enny.

Menurutnya, ancaman hukum masih menggunakan ketentuan lama tanpa ada ukuran. Sehingga dengan motode delphi yang kini tengah dihitung bobot dan ukuran pidana, ancaman dapat diubah.

Karena itu juga, pasal 239 akhirnya disetujui oleh timmus dan Pemerintah masuk RUU RKUHP sebagai delik umum, namun ancaman hukuman disesuaikan denhan motede delphi.

"Ini kita sepakati tetap menjadi delik umum ya dengan tadi model pidana yang tadi pake delphi model tadi," kata Benny sambil mengetok pasal tersebut.

(Baca juga: Semua Fraksi Setuju Pasal Penghinaan Presiden Masuk RKUHP)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement