Rabu 07 Feb 2018 15:30 WIB

'Semua Fraksi Setuju Pasal Penghinaan Presiden Masuk RKUHP'

Fraksi-fraksi hanya belum sepakat pasal tersebut jadi delik aduan atau khusus.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Arsul Sani
Arsul Sani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang Undang Revisi Kitab Undang undang Hukum Pidana Arsul Sani mengakui semua fraksi dan DPR setuju jika pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden kembali masuk dalam RUU RKUHP. Namun kata Arsul, belum semua fraksi menyepakati rumusan pasal tersebut terkait kategori delik aduan atau delik khusus serta ancaman pidana diturunkan di bawah 5 tahun.

"Kan kita bisa liat kemarin dalam timmus (tim perumus) kemarin, yang hari terakhir Pak Benny (pimpin) semua (fraksi) setuju dan enggak ada yang menolak. Hanya kita belum sepakat apakah itu delik aduan dan delik biasa," ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (7/2).

Arsul mengatakan, fraksi juga meminta penjelasan rinci terkait perbuatan yang dikategorikan sebagai penghinaan terhadap presiden maupun wakil presiden. Hal ini agar jelas pihak yang masuk kategori dipidana di pasal tersebut.

Ini juga, kata Arsul, yang diatur dalam pasal 239 ayat dua yang menyebut tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

"Tidak merupakan penghinaan kalau orang yang mengatakan misalnya melakukan untuk membela diri, misalnya diserang dulu oleh presidennya. Kedua di pasal itu diberi penjelasan yang panjang, saya lihat penjelasannya yang disiapkan tim pemerintah satu halaman lebih. Apa yang masuk sebagai penghinaan itu. Jadi ada rambu-rambunya disitu," jelas politikus PPP itu.

Arsul juga menilai dalam penjelasan itu dapat dengan mudah membedakan antara penghinaan dan kritik terhadap presiden. Hal ini untuk menjawab kekhawatiran apakah mengkritik juga masuk dalam pasal tersebut.

"Walau pun bagi saya jelas ya kalau ada yang mengatakan presiden salah, presiden salah itu bukan penghinaan ya, tapi kalau mengatakan presiden goblok presiden tolol ya memang menghina. Kan untuk mengatakan bahwa dia salah kan enggak perlu mengatakan goblok dan tolol," ujar Arsul.

Fraksi PPP juga kata Arsul, mengusulkan agar ancaman pidana diturunkan di bawah 5 tahun. Hal ini agar ada limitasi penegak hukum dalam memproses pidana terhadap orang yang baru disangka dalam pasal tersebut.

"Supaya kalau ada orang yang disangka menghina tidak bisa langsung ditahan sebelum diselidiki dengan benar," ujar Arsul.

Adapun pasal penghinaan presiden dalam pembahasan ditingkat Timus RKUHP, diatur pada pasal 239 ayat (1)  disebutkan setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp500 juta).

Sementara ayat (2) menyebut tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Namun pasal ini sempat mengalami perdebatan oleh sejumlah anggota Fraksi di timmus RUU RKUHP sebelum disepakati bersama Pemerintah untuk dibahas di tingkat Panja. Hal ini karena ada permintaan agar pasal penghinaan presiden diubah menjadi delik aduan, bukan delik umum sebagaimana rumusan dari Pemerintah.

Namun pihak Pemerintah bersikukuh beralasan bahwa penghinaan presiden dan wakil presiden juga mengacu pada pidana pasal penghinaan kepala negara asing di Indonesia yang juga delik umum, sehingga disejajarkan. Ketua Tim Pemerintah Pembahasan RUU RKUHP Enny Nurbaningsih menegaskan aturan pidana pasal penghinaan presiden tidak melihat siapa presidennya saat ini.

"Kalau kita lihat penghinaan ini memang sudah termasuk sesuatu yang sebetulnya pidana. Hanya kalau kita lihat penggunaan ini untuk presiden dia memang kita sudah buat penjelasan yang cukup panjang, kita tidak menempatkan sebagai delik aduan untuk Presiden tetapi kalau kemudian dipersoalkan tadi mengenai ancamannya apakah bisa diturunkan sangat bisa pak," kata Enny

Menurutnya, ancaman hukum masih menggunakan ketentuan lama tanpa ada ukuran. Sehingga dengan metode delphi yang kini tengah dihitung bobot dan ukuran pidana, ancaman dapat diubah.

Karena itu juga, pasal 239 akhirnya disetujui oleh timmus dan Pemerintah masuk RUU RKUHP sebagai delik umum, namun ancaman hukuman disesuaikan dengan motede delphi.

"Ini kita sepakati tetap menjadi delik umum ya dengan tadi model pidana yang tadi pake delphi model tadi," kata Benny sambil mengetok pasal tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement