REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menilai, perlunya pasal penghinaan terhadap presiden dan Wapres untuk menjerat pelaku penghina simbol negara. Menurutnya, pasal ini diperlukan lantaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak menjangkau pelaku penghinaan di luar media elektronik.
"ITE itu kan menggunakan elektronik. Hanya elektronik.Kalau ada kegiatan di luar elektronik kan tidak bisa dijangkau oleh ITE. Jadi ITE itu hanya penghinaan oleh siapa saja kepada presiden ketika dia menggunakan media elektronik," jelas Asep saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (7/2).
Menurutnya, dalam pembahasan pasal penghinaan terhadap presiden dan Wapres ini harus mengatur secara jelas substansi dan batasan antara kritikan dan hinaan. Apakah substansi kritikan terkait dengan pribadinya, terkait sebagai Presiden RI sebagai simbol negara, atau berhubungandengan kinerja presiden.
Asep menjelaskan, substansi kritikan yang dilarang dalam pasal penghinaan tersebut yakni yang berkaitan dengan hinaan terhadap presiden dan Wapres sebagai simbol negara. Kendati demikian, jika hinaan tersebut ditujukan untuk pribadi presiden, maka hal itu tidak diatur dalam pasal ini. Jeratan pidana kepada pelaku pun dapat dilakukan melalui aduan kepada kepolisian.
"Jadi tidak boleh dihina karena presiden sebagai simbol negara, sama dengan burung Garuda. Tapi kalau bentuk pribadi, itu pidana," jelasnya.
Sedangkan, kritikan yang bertujuan untuk memberimasukan kepada kinerja Presiden tak bisa dipidanakan dan merupakan bentukdemokrasi negara. Kritikan terhadap kinerja pemerintah, kata dia, bolehdilakukan oleh masyarakat.
"Masyarakat boleh mengkritik kinerja presiden,presidennya lemah dan presidennya tidak menjalankan janjinya itu adalah kinerja.Tapi kalau sebagai pribadi, silakan itu mah diurus sebagai Jokowi, misalnya. Silakan adukan kepada polisi sebagai pribadi," ujarnya.
Asep pun berpendapat, pasal penghinaan terhadapPresiden dan Wakil Presiden dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana(RKUHP) sebaiknya memang bersifat delik umum. Yakni proses hukum dilakukan tanpa perlu ada pengaduan dari korban.
(Baca juga: Pakar: Batasan Kritik dan Menghina Presiden Harus Diperjelas)