Rabu 07 Feb 2018 05:17 WIB

Jangan Politisasi Polisi

Penunjukkan polisi sebagai plt gubernur adalah pengulangan praktik penguasa orde baru

Logo Polri (Illustrasi)
Logo Polri (Illustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasir Djamil*

Dalam analogi   saya, peran TNI/Polri dalam politik ibarat air dan minyak, keduanya tidak mungkin disatukan. Kalau dipaksa disatukan, tentu air dan minyak tidak akan bermakna lagi. Airnya menjadi berminyak, dan juga sebaliknya, daya bakar api  akan berkurang  karena tercampur air. 

Wacana relasi TNI/Polri di politik, kembali mencuat seiring dengan langkah Menteri Dalam Negeri ingin menempatkan perwira tinggi polisi aktif sebagai pelaksana tugas kepala daerah. Kontan saja keinginan tersebut dicurigai sarat dengan muatan politik praktis dan ingin " mengamankan" pesanan pemilik kebijakan.

Rencana penunjukkan itu seolah ingin mengulang praktik  penguasa Orde Baru yang tentu saja berlawanan dengan semangat reformasi. Ada kesan, keberhasilan "people power" di tahun 1998 yang berujung dihapusnya dwifungsi ABRI  tercederai dengan hadirnya “dwifungsi” polisi ala Mendagri ini.

Penempatan perwira tinggi Polri aktif tersebut  dikhawatirkan rawan disusupi kepentingan politik jangka pendek untuk kandidat tertentu. Kecurigaan publik, misalnya, penunjukkan kedua perwira tinggi Polri itu dalam keamanan kurang bisa dinalar  akal. Dinamika keamanan Jawa Barat dan Sumatera Utara selama ini tidak menunjukan situasi kerentanan konflik yang signifikan. Penempatan ini hanya melemahkan peran kepolisian di tengah proses pelaksanaan pilkada dan berpotensi menambah kegaduhan politik lokal di dua provinsi tersebut.

Tentu publik masih ingat soal kegaduhan  dan panasnya politik serta potensi  konflik horizontal  di Pilkada Gubernur DKI Jakarta.  Justru saat itu Mendagri mempercayakan Plt Gubernurnya berasal dari kalangan sipil,  bukan dari perwira  tinggi Polri. Walaupun demikian, pilkada DKI berjalan damai dan happy ending. Praktis, dalih penempatan Plt dari perwira tinggi polri dengan dalih demi menjaga keamanan tidak berdasar dan beralasan.

Mendagri selaku menteri dari partai pemenang pemilu sudah seharusnya menghindari langkah-langkah kebijakan yang justru memicu polemik politik di ruang publik dan mengancam dinamika pelaksanaan pilkada yang demokratis, damai dan aman. Sudah seharusnya ketentuan Pasal 201 ayat (10) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada) tidak ditafsirkan secara bebas. Secara eksplisit, ketentuan tersebut tidak menyebutkan larangan untuk anggota Polri dan TNI menempati posisi sebagai pelaksana tugas gubernur dan wakil gubernur. Namun, bukan berarti celah hukum ini bisa disiasati. Ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nmor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia menyatakan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

 Penunjukan pelaksana tugas tersebut sejatinya tidak hanya orang yang mengerti dan memahami betul tata kelola pemerintahan daerah dan dapat memastikan berjalannya pelayanan publik, tetapi juga bagaimana memastikan netralitas pemerintahan daerah selama berlangsungnya pilkada.

Langkah Mendagri jelas menciderai amanah reformasi saat menghapuskan dwifungsi ABRI. Publik tentu masih ingat bahwa sebelum reformasi, Polri masih tergabung dalam ABRI yang setelah direformasi diubah menjadi TNI dan kemudian Polri memisahkan diri. Keinginan menghapus dwifungsi ABRI saat itu yakni tidak hanya untuk memastikan netralitas TNI sebagai pemegang kuasa konstitusional yang menjaga pertahanan negara, namun juga netralitas Polri yang bertanggungjawab terhadap keamanan negara.

 Langkah Mundur

Penunjukan perwira tinggi Polri tersebut di atas merupakan langkah mundur proses reformasi yang telah bergulir selama hampir 20 tahun ini. Sebab, Polri sekali lagi harus netral dalam kehidupan politik sebagaimana diatur Pasal 28 ayat (1) dan (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Dalam pasal itu disebutkan, apabila terdapat anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian maka itu dapat dilakukan setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Artinya, netralitas Polri tetap terjaga dan tidak menimbulkan 'dwifungsi' Polri sebagaimana dwifungsi ABRI pada zaman Orde Baru

Cara Mendagri seperti ini seolah menasbihkan bahwa kondisi di dua provinsi tersebut seolah berstatus Darurat Sipil. Bila mengacu pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Nomor 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya, maka diatur mengenai darurat sipil dengan menetapkan Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD). PDSD itu terdiri atas kepala daerah yang dibantu oleh seorang komandan militer tertinggi, seorang kepala Polri, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan di daerah tersebut.

Seperti diketahui, saat rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan (almarhum) Jenderal Soeharto, membuka ruang seluas-luasnya bagi orang-orang militer untuk menikmati kehidupan politik di dalam pemerintahan, bahkan di sektor-sektor lainnya. Atas nama Dwifungsi ABRI dengan dukungan dasar hukum yang kuat itu, militer Indonesia mengemban dua tugas utama. Pertama, menjaga keamanan serta ketertiban negara, dan kedua, memegang kekuasaan serta (berhak) mengatur negara. Selain itu, ABRI berperan ganda sebagai "dinamisator sekaligus stabilisator" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di zaman Orde Baru, bukan hal yang aneh jika ada tokoh militer aktif yang menjabat menteri, gubernur, hingga bupati/walikota. Soeharto tak jarang menunjuk sosok militer mendampinginya sebagai wakil presiden, yakni Umar Wirahadikusumah (1983-1988), Soedharmono (1988-1993), dan Try Sutrisno (1993-1998).

Tak hanya di sektor politik dan pemerintahan, militer berkecimpung di partai politik. Kaum serdadu selama Orde Baru bertebaran di mana-mana, di setiap sendi dan lini kehidupan masyarakat, sebutlah di lembaga atau perusahaan milik negara, peradilan, bahkan di ranah bisnis sebagai tentara merangkap pengusaha.

Sejak Soeharto mundur pada 1998, dwifungsi ABRI secara bertahap diupayakan untuk dihilangkan, yang berpuncak dengan penghapusan Fraksi TNI/Polri dari DPR pada 2004, menyusul penerapan serupa untuk MPR. Kendati demikian, kecenderungan orang-orang militer- setidaknya setelah pensiun  atau yang terpaksa mundur dari jabatannya- untuk terjun ke kancah politik tetap saja besar, selain karena memang dinilai punya daya tarik, misalnya oleh partai politik atau lembaga tertentu.

Menempatkan perwira tinggi Polri sebagai pelaksana tugas gubernur dan memegang jabatan politik, tak ubahnya kembali ke zaman Orde Baru. Legitimasi kekuasaan atas nama keamanan patut dicurigai. Sudah seharusnya peran Polri dikembalikan ke khittahnya sebagai pengayom dan pelayan masyarakat di bidang keamanan dan ketertiban. Untuk itu, tentu kita tidak ingin keberhasilan menghapus dwi fungsi ABRI tercoreng dengan justru memunculkan dwi fungsi Polri. Bagaimanapun upaya perbaikan dan reformasi Polri harus terus digulirkan, tapi sembari agenda reformasi ini berjalan, sebaiknya prinsip netralitas Polri dalam jabatan politik harus diperkuat. Bagaimanapun Polri adalah garda terdepan dalam menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Polri jangan mau dipolitisasi!.

 

*Nasir Djamil adalah Anggota Komisi III dari Fraksi PKS

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement