Kamis 01 Feb 2018 08:24 WIB

Plus Minus Kampus Asing ke Indonesia

Asosiasi Dosen Indonesia mendukung rencana pemerintah membuka kampus asing di sini.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Elba Damhuri
Universitas Cambridge
Foto: dailymail
Universitas Cambridge

REPUBLIKA.CO.ID Forum Rektor Indonesia (FRI) meminta pemerintah membatasi izin pembukaan perguruan tinggi asing (PTA) di Indonesia. FRI menginginkan, kampus asing yang diizinkan hanyalah kampus-kampus research university untuk kemudian ditempatkan di daerah-daerah perbatasan Indonesia.

Tujuannya tak lain untuk mengoptimalkan sumber daya alam Indonesia yang belum terolah dengan baik. “Misalnya, perguruan tinggi asing yang kuat dengan pertanian terpadu di NTT dan NTB. Tentu PTA itu harus investasi untuk inovasi, knowledge creation, dan mengajak kampus lokal dan nasional,” kata Wakil Ketua FRI, Profesor Asep Saepudin, di Jakarta, Rabu (31/1).

Asep menyebutkan, kampus-kampus riset yang bagus untuk hadir di Indonesia, antara lain Oxford, Cambridge, Harvard, dan Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dia melanjutkan, perguruan tinggi swasta (PTS) dan perguruan tinggi negeri (PTN) tidak perlu memiliki kekhawatiran berlebihan terhadap PTA yang akan membuka cabang di Indonesia. Sebab, masuknya PTA merupakan bagian dari grand design Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sehubungan dengan Globalisasi Pendidikan dan Revolusi Industri 4.0.

Justru, kata Asep, PTN dan PTS harus berpikiran masuknya PTA akan makin memudahkan calon mahasiswa mendapatkan akses masuk ke PTS yang kualitasnya baik tanpa harus pergi ke luar. “Ini menjadi satu arah menuju Indonesia yang knowledge based society,” ujar dia.

Kemenristekdikti mendorong PTA untuk membuka akses kampusnya di Indonesia. PTA akan diklasifikasikan menjadi PTS. Artinya, biaya pendidikan di PTA akan relatif mahal dibandingkan PTN sehingga PTA tidak akan mematikan popularitas PTN.

Menristekdikti Mohammad Nasir mengemukakan, syarat wajib bagi PTA yang akan membuka akses di Indonesia, yakni PTA harus mau berkolaborasi dengan PTS dengan lokasi kampus dan program studi (prodi) ditentukan oleh pemerintah.

Tahun ini, kata Nasir, ada lima sampai 10 PTA yang akan diberikan izin membuka cabang di Indonesia. Hingga saat ini, PTA yang berminat membuka akses di Indonesia sudah cukup banyak. Ada Central Queensland University, University of Cambridge, dan National Taiwan University.

Nasir meyakinkan, Kemenristekdikti telah merancang regulasi yang baik agar tidak ada pihak yang dirugikan, terutama PTS dan PTN. Sebab, kata Nasir, prodi yang akan diperbolehkan di Indonesia pun hanya bidang science, technology, engineering, dan mathematics (STEM).

“Tidak akan mematikan. Perguruan tinggi di kita kan banyaknya buka prodi sosial atau humaniora dan sedikit sekali yang membuka prodi teknik dan sains. Jadi, ini beda segmentasinya,” tegas Nasir.

Rencana pemerintah mengizinkan kampus asing langsung mendapatkan respons negatif dari PTS yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi). Karena itu, Asep meminta pemerintah segera membuka dialog dengan PTS agar tidak terus menimbulkan kesalahpahaman. Sehingga, pada masa yang akan datang, baik PTN, PTS, maupun PTA yang berada di Indonesia dapat saling menguatkan dalam membangun mutu pendidikan yang lebih baik.

Ketua Umum Aptisi Budi Djatmiko mengatakan, PTS-PTS di Indonesia tetap menolak rencana pemerintah membuka akses untuk PTA di Indonesia. Menurut dia, kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia masih rendah sehingga angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi pun minim.

Kan APK kita masih 31 persenan, otomatis ya hanya 31 persen itu yang mampu melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Hadirnya PTA itu nanti jadikan kita saling gerus mahasiswa dan pada akhirnya berujung pada matinya PTS kecil,” kata Budi pada acara Rembug Nasional II Aptisi di Kampus I Universitas Tarumanegara, Jakarta Barat, Rabu (31/1).

Dia menjelaskan, selama ini setiap regulasi yang dibuat pemerintah dinilai selalu merugikan PTS. Selain itu, otonomi pengelolaan PTS pun pada implikasinya tidak berjalan dengan baik. Sehingga, menurut dia, lebih baik pemerintah mengkaji ulang rencana tersebut.

“Kita nggak dikasih anggaran banyak oleh pemerintah, hanya tujuh persen. Terus kita juga harus survive dalam persaingan global ini dan pasar kita (mahasiswa) juga semakin tergerus. Bagaimana ini?” kata dia.

Meskipun begitu, Budi mengakui, dengan dibukanya akses PTA di Indonesia bisa semakin membuka akses pendidikan global yang lebih luas. Namun, jika tujuannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, lebih baik pemerintah mengambil mahasiswa dan dosen dari luar negeri untuk kemudian membagikan ilmunya di Indonesia.

Ketua Asosiasi Dosen Indonesia (ADI), Dino Patti Djalal mendukung rencana pemerintah mengenai pembukaan cabang kampus asing di Indonesia. Dino berpandagan, masuknya PTA ke Indonesia bisa mendongkrak pengetahuan dan keilmuan anak bangsa.

“Lagi pula, kalau kita lihat di Cina, Malaysia, Singapura, itu sudah banyak (PTA) yang masuk, sedangkan di kita belum. Kalau dengan adanya PTA semakin banyak ilmu yang bisa dicerna oleh mahasiswa kita, kenapa tidak?” kata Dino.

(Pengolah: eh ismail).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement