REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA – Mantan menteri dalam negeri (mendagri) Gamawan Fauzi dihadirkan jaksa penuntut umum KPK dalam sidang lanjutan proyek pengadaan KTP-el dengan terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/1). Dalam persidangan, anggota majelis hakim Franky Tambuwun menanyakan apakah Gamawan pernah menerima aliran dana proyek KTP-el. Kepada majelis hakim, Gamawan langsung membantahnya.
"Satu sen pun saya tidak pernah (terima aliran KTP-el). Demi Allah. Seingat saya ada tiga dosa besar, saya anak ulama, syirik, durhaka, dan sumpah palsu. Saya sedih sudah dua tahun betul-betul sengsara," ujar Gamawan.
Bahkan, Gamawan siap dihukum mati jika memang terbukti menerima uang. "Saya siap dihukum mati yang mulia. Saya sering dicurigai, silakan cek saja. Sama sekali tidak ada niatan saja. Kalau ada foto atau apa, lalu juga saya dicurigai ke Singapura juga. Ini sudah fitnah keterlaluan," kata Gamawan.
Hakim Franky juga menanyakan apakah Gamawan pernah menerima aliran dana dari adiknya, Azmin Aulia. Diketahui, dalam persidangan sebelumnya, Azmin Aulia mengakui bahwa dia membeli ruko dan tanah milik Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos. PT Sandipala merupakan anggota konsorsium pelaksanaan proyek KTP-el.
"Jadi, begitu Andi Narogong, bicara saya panggil adik saya dan tanya apa betul dikasih sama Paulus," katanya.
Menurut Gamawan, adiknya langsung menjelaskan secara rinci soal jual beli tanah dan kepemilihan ruko itu sama sekali bukan pemberian terkait KTP-el.
"Begini yang mulia, saya minta Jaksa sama-sama kita jujur begitu Andi bicara saya panggil adik saya mengapa kau tidak komunikasi dengan saya. Saya demi Allah saya bawa bukti. Ini bukti pembelian tanah di Brawijaya berdua dengan Jhony G Plate atas nama Paulus Tanos," ujarnya.
"Dia (Paulus Tanos) jual karena kesulitan uang dari pemerintah yang proyek belum turun. Kalau akta jual beli tidak bisa dipercaya gimana? Itu juga belinya kan atas nama perusahaan, bukan pribadi," ujarnya.
Gamawan Fauzi menambahkan seluruh proses transfer bank untuk pembayaran ruko dan tanah seluruhnya telah diserahkan ke KPK sebagai bukti. Dia juga mengaku tak tahu menahu adanya korupsi dalam proyek pengadaan KTP-el. "Saya enggak mengerti proses KTP-el korupsinya di mana," kata Gamawan.
Bahkan, dia mengaku sempat marah besar saat mendengar isu pejabat Kemendagri menerima dana sebesar Rp 78 miliar dari pengusaha penggarap proyek KTP-el. Padahal, dalam fakta persidangan pada Kamis (25/1) pekan lalu, mantan dirjen Dukcapil Kemendagri yang juga merupakan terdakwa kasus ini, Irman, mengatakan, Gamawan diam saat diberi tahu ada pengusaha yang memberikan sejumlah uang kepada mantan direktur pengelola informasi administrasi kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
"Saya prinsip ke Irman jangan Anda main-main, kemudian ketika dia bilang ini sumber dari Bu Dyah, tapi jumlah tidak jelas berapa, kan Bu Dyah katakan ini Sugiharto terima uang itu setelah proyek berjalan saya marah, saya berkali-kali katakan jangan ada KKN, jangan ada macam-macam, target harus tercapai ikuti peraturan berlaku," kata Gamawan.
Dalam persidangan, Gamawan juga mengaku tidak pernah mengetahui adanya pengaturan lelang dan pengadaan dalam proyek KTP-el. Dia juga menyatakan tidak mengetahui perihal penggelembungan anggaran.
Meski demikian, Gamawan membantah tidak melakukan pengawasan dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun itu. Gamawan mengatakan bahwa dia sudah meminta pendampingan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan meminta dua kali audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kemudian, meminta pendampingan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Secara terpisah, KPK memanggil perawat pada RS Medika Permata Hijau Muh Nawawi Harunia dalam penyidikan tindak pidana menghalang-halangi penyidikan dugaan tindak pidana korupsi proyek KTP-el atas tersangka Setya Novanto.
"Yang bersangkutan direncanakan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Fredrich Yunadi," kata juru bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Pada hari yang sama, KPK juga menerima surat dari Pengadilan Jakarta Selatan terkait sidang praperadilan yang diajukan oleh advokat Fredrich Yunadi. Adapun permasalahan yang dipersoalkan oleh mantan pengacara terdakwa kasus korupsi KTP-el Setya Novanto adalah terkait penyelidikan yang tidak didasarkan pada laporan masyarakat. Kemudian, untuk penetapan tersangka, menurut dia, harus ada pemeriksaan calon tersangka terlebih dahulu.
KPK, kata dia, tentu yakin dengan seluruh proses formil ataupun kekuatan alat bukti yang dimiliki. Termasuk tentang ketentuan UU KPK yang berlaku khusus bahwa sejak penyelidikan sudah dapat mencari alat bukti.
"Dan ketika ditingkatkan ke penyidikan sudah ada tersangka berdasarkan bukti permulaan yang cukup," ucap Febri.
Sidang pertama perkara Nomor 9/Pid.Pra/2018/PN Jkt.Jaksel itu dijadwalkan pada Senin (12/2), dengan dipimpin hakim tunggal Ratmoho. (antara, Pengolah: nashih nashrullah).