REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Direktorat Kajian Strategis Kebijakan Pertanian (KSKP) IPB merekomendasikan untuk mengevaluasi pola tanam tanpa jeda, 3-4 kali setahun yang dilakukan petani. Pola itu menjadi satu strategi jangka menengah dalam mengatasi persoalan perberasan nasional yang mengalami polemik setiap tahunnya.
"Pola tanam yang nyaris terus menerus tanpa jeda 3-4 kali setahun akan memberikan tekanan pada lingkungan, juga membuka peluang munculnya hama dan penyakit tanaman," kata Direktur KSKP IPB Prof Dodik Ridho Nurrochmat, kepada media di Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (22/1).
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan tim IPB tahun 2017, ada sekitar 30 kabupaten di pulau Bali, Jawa, Lampung dan Sumatera Selatan yang terserang wereng coklat dan virus kerdil hampa.
Menurutnya, jika pola tanam tanpa jeda ini tidak dievaluasi, diperkirakan akan terjadi serangan hama dan penyakit pada areal persawahan yang lebih luas sehingga mengancam ketahanan pangan nasional. "Kebijakan pemerintah yang terus mendorong petani menanam padi terus menerus akan menjadi jembatan bagi hama penyakit untuk menyerang tanaman," katanya.
Pola tanam tanpa jeda 3-4 kali dalam setahun membuka peluang munculnya hama penyakit. Tapi jika pola tanam tanpa jeda dievaluasi akan memberikan dampak luas. "Kalau tidak persoalan hama dan penyakit akan terjadi terus menerus," katanya.
Dodik menambahkan kebijakan pola tanam yang terus menerus tanpa jeda ini ditujukan supaya bisa memproduksi lebih banyak beras, mewujudkan swasembada beras.
Oleh karena itu perlu juga direkomendasikan untuk menurunkan secara bertahap swasembadaya atau target produksi beras dalam negeri mendekati angka yang lebih realistis.
Sementara itu Kasubdit Bidang Proteksi Tanaman KSKP IPB Dr Abjad Asih Nawangsih menambahkan pola tanam yang terus menerus tanpa jeda akan memberikan kesempatan kepada patogen atau hama untuk berkamulasi di lapangan.
Misalnya hama yang tadinya hanya 10, kemudian mendapat makan bertambah menjadi 20. Dari 20 dapat makan lagi, akan terus bertambah, karena di lapangan makanan terus tersedia.
"Lain halnya kalau misalnya ada jeda waktu tanam, jeraminya di kembalikan, atau ditanami dengan tanaman yang lainnya padi atau kedelai, patogen-patogen padi akan terhambat pertumbuhannya.
"Hama yang terhambat pertumbuhannya mereka harus memulai dari awal populasinya," kata Abjad.
Menurutnya tanah sama seperti manusia jika diporsir terus menerus semua unsur hara dalam tanah akan terambil. Walau dikembalikan mungkin tidak sepadan dengan yang diambil dari tanah.
Jika dikalkulasikan misalnya menanam padi yang kelaur dari tanah berapa, dan jeraminya berapa. Harus memperhitungkan yang harus dikembalikan. Kalau kurang dari itu, maka semakin berkuranglah kesuburan tanah. "Belum lagi unsur-unsur mikro, terkait ketahanan tanaman terhadap hama maupun patogen, itu juga semakin berkurang," katanya.
Sebagai negara tropis Indonesia tidak memilik penghambat alami hama atau patogen, artinya sepanjang musim hama bisa hidup. Berbeda dengan negara lain, misalnya Thailand memiliki musim dingin, patogen atau hama secara alamiah sudah terhambat pertumbuhannya. "Di Indonedia tidak ada penghambat alami hama, kalau tanaman itu tumbuh, selama itu pula hama penyakit mendapat makanannya," kata Abjad.
Beberapa hasil penelitian IPB untuk mengubah pola tanam petani yakni dengan mengembangkan jerami. Dengan upaya begitu, ada jeda waktu untuk menanam. Supaya jerami tersedia diperlukan waktu.
"Dengan mengembalikan jerami, beberapa unsur akan mulai berkurang dan mempengaruhi ketahanan hama itu," katanya.