Senin 22 Jan 2018 16:57 WIB

Antisipasi Rabies, Sumbar Rancang Eliminasi Anjing Liar

Eliminasi anjing liar demi menekan potensi penyebaran rabies.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Gita Amanda
Anjing, salah satu hewan peliharaan penular rabies, selain kucing dan kera.
Foto: Siwi Tri Puji/Republika
Anjing, salah satu hewan peliharaan penular rabies, selain kucing dan kera.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (Pemprov Sumbar) berencana menyebarkan imbauan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk menjalankan eliminasi terhadap anjing-anjing liar. Langkah ini dilakukan untuk menekan potensi penyebaran rabies dari anjing liar kepada manusia.

"Buatkan surat ke bupati untuk eliminasi anjing liar. Buatkan surat dari Dinas Kesehatan juga," ujar Gubernur Sumbar Irwan Prayitno saat rapat koordinasi dengan pemerintah kabupaten atau kota se-Sumbar, Senin (22/1).

Catatan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Barat, pekan ini sudah ada satu warga Kabupaten Solok Selatan yang diterbangkan ke Singapura untuk mendapatkan Serum Anti Rabies (SAR). Sebelumnya, sudah ada lima warga Kabupaten Agam yang juga terbang ke Singapura untuk mendapat pengobatan rabies. Pengobatan rabies dengan SAR memang hanya bisa diperoleh di Singapura.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Barat Merry Yuliesday mengungkapkan bahwa berbeda dengan vaksin, serum antirabies belum diproduksi secara mandiri di Indonesia. Hal ini, lanjutnya, yang membuat penanganan terhadap pasien rabies belum bisa optimal. Apalagi demi mendapat SAR di Singapura, pasien mesti merogoh kocek Rp 30 juta. Sementara untuk vaksinnya, Dinas Kesehatan Sumbar masih memiliki pasokan 1.120 paket vaksin rabies.

"Tapi kalau serum, harus ke Singapura. Makanya solusinya mengendalikan sumber penyakitnya, eliminasi anjing liar," ujar Merry.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Untung Suseno Sutarjo menambahkan, serum antirabies saat ini memang hanya diproduksi oleh India. Itu pun, Indonesia masih harus memesan dalam jumlah banyak lewat Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) untuk mendapatkan pasokan SAR. Hal tersebut yang menurutnya menyulitkan Indonesia mengakses SAR dalam jumlah mencukupi.

"Kalau vaksin memang diproduksi dalam negeri, namun kan itu harus dilakukan oleh mentan (Menteri Pertanian), namun mentan tidak merasa anjing ini ternak. Sehingga Kementan (Kementerian Pertanian) nggak menyuntikkan (ke anjing)," katanya.

Sebelumnya, Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) asal Sumbar, Betti Shadiq Pasadigoe, menyampaikan risiko penyebaran rabies di daerahnya. Hal ini, menurut Betti, tak lepas dari budaya masyarakat yang kerap berburu babi dengan bantuan anjing. Betti sendiri tidak mempermasalahkan tradisi yang dijalankan masyarakat. Hanya saja, lanjutnya, serum antirabies yang terbatas meningkatkan risiko penularan rabies menjadi tinggi di Sumatra Barat.

"Namun kami mendengar informasi bahwa SAR ini susah didapatkan. Bahkan di Agam saya dengar, di sana nggak ada serum akhirnya dia harus ke Singapura. Ini kan membutuhkan biaya yang besar," ujar Betti.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan yang dirilis 2017 lalu, sebanyak 86 orang meninggal karena rabies pada tahun 2016. Hingga saat ini, baru terdapat sembilan provinsi di Indonesia dinyatakan sebagai daerah bebas rabies, sedangkan 24 provinsi lainnya masih endemis.

Dari sembilan provinsi yang dinyatakan bebas rabies, sebanyak lima provinsi di antaranya bebas historis, yakni Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Papua Barat, dan Papua. Sementara empat provinsi lainnya dinyatakan bebas rabies, yakni Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya