Ahad 21 Jan 2018 16:40 WIB

Ini Pertimbangan Larangan Perilaku LGBT Perlu Masuk RUU KUHP

Salah satu alasannya karena agama-agama di Indonesia melarang perilaku LGBT

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bayu Hermawan
Tolak LGBT/Ilustrasi
Tolak LGBT/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penolakan terhadap perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) kembali ramai diperbincangkan. Pakar hukum pidana Tengku Nasrullah menegaskan, larangan perilaku LGBT tetap perlu dimasukan ke dalam RUU KUHP.

Salah satu alasannya, Nasrullah mengatakan karena norma agama di Indonesia melarang perilaku tersebut. "Dimana tidak ada satupun agama yang diakui di Indonesia membolehkan perilaku tersebut," ujarnya kepada Republika.co.id, Ahad (21/1).

Nasrullah mengungkapkan, bagaimana penjelasan soal usulan pidana perilaku LGBT ke dalam KUHP tersebut. Apabila ada seseorang dengan kelainan seksual hanya pada persoalan psikis pribadinya saja, menurutnya, itu tidak bisa dikenakan pidana. Namun perilaku ini bisa menjadi tindak pidana, ketika perilaku seksual LGBT dilakukan di lingkungan masyarakat dengan norma agama yang kuat.

Alasannya, perilaku seksual LGBT di tengah masyarakat yang menolak LGBT bisa mengganggu ketertiban di masyarakat. "Karena dalam hukum yang dijaga itu adalah ketertiban umum di masyarakat," ungkapnya.

Apapun alasannya, apakah itu suka sama suka, sesama dewasa atau sudah dalam ikatan pernikahan. Intinya, kata dia, pengenaan pidana pada perilaku LGBT sama seperti perilaku hubungan seksual di luar nikah. Bila dilakukan di tengah masyarakat yang hidup dalam norma agama ketat, maka berpotensi masuk unsur pidana. Namun, bisa berbeda bila hubungan seksual itu dilakukan di tengah komunitas yang tidak lagi memegang norma agama.

"Jadi kalau masyarakatnya permisif tentu perilaku itu bisa saja tidak masalah. Kenapa begitu, karena hukum di Indonesia bukanlah hukum Islam. Kalau hukum Indonesia bersumber norma hukum agama, itu iya (tidak berlaku)," jelasnya.

Nasrullah mengatakan kalau hukum Islam, kapanpun dan dimanapun hukum itu akan tetap berlaku, walaupun masyarakatnya semakin permisif terhadap norma agama. Pertimbangannya hukum negara tidak boleh mengenyampingkan warna hukum Islam. Tapi hukum negara tidak bisa 100 persen menerapkan hukum Islam.

"Jadi tergantung nilai di masyarakat, kalau masyarakatnya sudah permisif. Bisa menerima (perilaku LGBT) dan tidak masalah, maka tidak bisa dipidana. Tapi kalau masyarakatnya menolak dan mengganggu ketertiban umum tentu perilaku itu bisa dipidana," ungkapnya.

Ia mengatakan KUHP yang ada saat ini adalah produk warisan Belanda. Sedangkan KUHP yang kini dalam proses draft RUU dari pemerintah di DPR, ingin memasukkan perluasan tindak pidana khususnya LGBT. Dimana usulan ini masih mendapatkan perdebatan antar fraksi.

Nasrullah mengungkapkan berbeda dengan UU Perkawinan. Dalam UU ini sudah jelas melarang pernikahan sesama jenis. Jadi bila ada pernikahan sesama jenis di Indonesia, sudah jelas pelaku bisa disanksi pidana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement