Jumat 19 Jan 2018 20:34 WIB

'Peran Perempuan dari Desa Perlu Dirintis'

Perlu adanya dorongan agar keterlibatan perempuan dalam setiap pengambilan kebijakan.

Rep: Eric Iskandarsjah/ Red: Fernan Rahadi
Dialog Kebangsaan Syariah (ilustrasi).
Foto: dokpri
Dialog Kebangsaan Syariah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Sejumlah kebijakan hingga saat ini dinilai belum mewakili kepentingan dan kebutuhan dari perempuan. Hal ini terjadi karena perempuan belum cukup dihadirkan dalam setiap pengambilan kebijakan-kebijakan strategis.

Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, mengatakan perlu adanya dorongan agar keterlibatan perempuan dalam setiap pengambilan kebijakan strategis dapat ditingkatkan. "Tak hanya di kancah elite politik, peran perempuan juga harus dirintis mulai dari ranah desa," ujar Tri Hastuti, Selasa (16/1).

Terlebih, adanya Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, merupakan momen yang sangat penting bagi permpuan. Menurutnya, UU ini telah berhasil memperbesar peluang keterlibatan perempuan dalam pembangunan.

Hal tersebut sekaligus digunakan untuk memperkuat peranan di cabang dan ranting Aisyiyah dengan membuat Balai Sakina Aisyiyah (BSA). Balai ini merupakan perkumpulan perempuan di desa yang melakukan kegiatan ekonomi  sesuai dengan potensi di masing-masing daerah. 

Selain itu, BSA juga memberikan edukasi tentang hak-hak setiap warga negara, akses kesehatan dan mendorong agat perempuan melibatkan dalam musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes). Ia menilai, salah satu peranan penting perempuan dalam Musrenbangdes adalah untuk memastikan bahwa dana desa yang digelontorkan dari pemerintah pusat dapat digunakan secara optimal dan penggunaan dananya juga berpihak pada perempuan dan anak-anak.

Kehadiran BSA terbukti cukup signifikan dalam mewakili aspirasi kaum perempuan. Menurut Tri Hastuti, pada 2016, terdapat 140 usulan dari BSA yang diterima oleh pemerintah desa. "Ini merupakan terobosan yang sangat signifikan dalam sebuah proses politik. Hal ini juga sekaligus menunjukan bahwa perempuan mulai didengarkan dan dapat meminimalisir kesan bahwa politik di segala ranah saat ini sangat maskulin," ujar dia.

Hingga saat ini, ia menjelaskan, jumlah BSA di seluruh Indonesia telah terdapat 48 balai. Seluruh balai yang ada saat ini masih merupakan modelling yang masih dikembangkan untuk nantinya dapat dihadirkan di seluruh wilayah di Indonesia. 

Seluruh BSA rintisan itu sengaja dihadirkan di beberapa desa yang masuk dalam kategori zona merah kemiskinan. Seperti di Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Pulau Jawa. Ia mengatakan, model yang dikembangkan dalam BSA dituangkan melalui penguatan kepemimpinan perempuan. 

Model ini dinilai sangat penting dan paling strategis karena dapat memperbesar akses politik bagi perempuan, yang nantinya diharapkan juga dapat berpengaruh terhadap peningkatan akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan. "Peran kepemimpinan ini adalah hal yang sangat strategis. Jika perempuan sudah dapat bersuara, maka aspirasi-aspirasi dapat tersampaikan dan diperjuangan," ujar dia. 

Adapun model selanjutnya yang juga dilakukan oleh BSA adalah pemberdayaan komunitas serta advokasi sehingga kebijkan di tingkat desa dan kabupaten dapat lebih berpihak pada perempuan. Ia mengatakan, seluruh langkah ini dilakukan demi menampik adanya feminisasi kemiskinan. 

Karena saat sebuah kebijakan telah mengabaikan perempuan, maka, lanjutnya, secara struktur, perempuan akan terus tersingkir yang membuat akses pembedayaan dalam berbagai bidang menjadi minim. Tri menekankan, adanya tenaga kerja wanita (TKW) di Indonesia merupakan dampak dari minimnya akses pendidikan yang layak bagi perempuan dan perkawinan di usia muda.

"Seluruh fenomena itu sekaligus membuktikan bahwa perempuan telah menjadi korban sistem. Oleh karena itu perlu adanya advokasi agar terwujud sebuah policy yang berpihak pada perempuan," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement