Jumat 19 Jan 2018 07:07 WIB

Pasokan Beras Turun di Pasar Cipinang Sebabkan Harga Naik

Selama pemerintahan Jokowi-JK terjadi impor beras sebanyak 2,9 juta ton.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andi Nur Aminah
Harga Beras Naik. Pekerja memindahkan beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (11/1).
Foto: Republika/ Wihdan
Harga Beras Naik. Pekerja memindahkan beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (11/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasokan beras di Pasar Induk Cipinang mengalami penurunan sehingga harga beras pun naik. Bahkan beras untuk operasi pasar pemerintah pun banyak yang menggunakan beras rastra dan bukan beras medium.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Koperasi Pasar Induk Cipinang, Zulkifli Rasyid, dalam diskusi yang digelar Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Kamis (18/1). Diskusi ini dihadiri Guru Besar Pertanian Unila dan Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Prof Bustanul Arifin.

Hadir pula Ekonom UI Berly Martawardaya, Ali Fatoni dari Himpunan Alumni IPB, dan Ketua BEM UI Zaadit Taqwa. Acara dipandu oleh M Fadli Hanafi dari Policy Center ILUNI UI dan juga sebagai Dosen FIA UI. Bustanul menyatakan bahwa selama pemerintahan Jokowi-JK terjadi impor beras sebanyak 2,9 juta ton.

FAO menyatakan bahwa impor di bawah 10 persen konsumsi masih dikategorikan sebagai swasembada. "Ada masalah besar di data produksi beras yang menggunakan pengalian lahan pertanian padi dikalikan rata-rata produktivitas, bukannya data riil panen," ujar dia.

Sementara itu, Ali Fathoni mengungkapkan, sejak September 2017, para alumni IPB sudah melihat tanda-tanda menurunnya stok beras. Kondisi saat ini yang berdekatan dengan panen raya membuat alumni IPB menyarankan sebaiknya setok beras dikumpulkan terlebih dahulu di berbagai daerah yang ada, sambil menunggu panen.

Di sisi lain, Berly, menilai klaim surplus beras sulit dipercaya dengan tingginya harga beras bukan hanya di kota-kota besar di Jawa. Tapi juga di berbagai pelosok Indonesia. "Bahkan, harga beras di Kalimantan menyentuh Rp 14 ribu," ujarnya.

Untuk prioritas jangka pendek, Berly menyarankan perbaikan pendataan produksi sehingga respons kebijakan bisa lebih akurat. Namun, untuk jangka menengah diperlukan penurunan konsumsi beras khususnya daerah bukan produsen dan kembali ke makanan pokok yang diproduksi di sekitar masyarakat seperti jagung, sagu, ubi, singkong atau sorghum.

Zaadit Taqwa menyatakan, BEM UI menyatakan sikap menolak impor beras karena dekat dengan panen raya. BEM UI juga mendesak Menko Perekonomian untuk melakukan validasi dan memperkuat pendataan produksi beras serta meningkatkan pemanfaatan teknologi. Seperti diketahui, awal tahun ini pemerintah memutuskan untuk melakukan impor beras sebanyak 500 ribu ton. Padahal, akhir tahun 2017 Menteri Pertanian menyatakan bahwa pasokan beras aman dan Indonesia swasembada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement