Selasa 16 Jan 2018 20:50 WIB

Beragam Kisah yang Tersisa dari Ambruknya Selasar BEI

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Budi Raharjo
Suasana pasca robohnya selasar Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senayan, Jakarta, Selasa (16/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Suasana pasca robohnya selasar Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senayan, Jakarta, Selasa (16/1).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peristiwa ambruknya selasar Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) yang terjadi Senin (15/1) kemarin, masih menyisakan trauma bagi beberapa korban yang dirawat di Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo. Korban yang dirawat di RSAL Mintohardjo merupakan peserta study tour yang datang dari Universitas Bina Darma Palembang.

Wakil Direktur Bidang Media RSAL Mintohardjo, Kolonel dr Eko Budi Prasetio mengatakan, hingga Selasa (16/1) sore, 15 korban masih dirawat, dari 17 pasien yang sebelumnya dirawat di RS tersebut.

"Jumlah korban yang dirawat hingga sore ini sejumlah 15 pasien, dari 15 tersebut ada lima pasien yang perlu perhatian. Artinya yang sepuluh orang sudah dalam (keadaan) stabil, mereka sudah beraktifitas seperti biasa untuk makan minum dan melakukan tindakan yang sifatnya tidak terlalu jauh dari tempat tidur," kata Eko di RSAL Mintohardjo, Selasa (16/1).

Salah satu korban, Firda (20) mengatakan, saat kejadian ia masih sadarkan diri. Namun, Firda mengaku ia tidak ingat betul setiap kejadian tersebut.

"Kejadiannya gak terlalu ingat, tapi yang ingat itu ada bunyi 'krek', terus jatuh," kata Firda yang masih dirawat di ruangan P. Tarempa, RSAL Mintohardjo, Jakarta, Selasa (16/1).

Firda mengatakan, detik-detik sebelum kejadian, ia dan teman-temannya tengah mencari tempat yang dituju di gedung tersebut. Namun, di lantai dua mereka hanya menemukan bank. "Kita rencananya mau nyari tempat yang dituju gitu, taunya di situ bank semua. Mau muter balik malah jatuh," kata Firda.

Setelah ambruknya selasar gedung, Firda yang masih sadar menemukan kakinya terjepit oleh puing-puing balkon yang runtuh. Akibatnya, kakinya hanya mengalami luka yang tidak terlalu parah. Namun, pergelangan kaki kirinya retak, sehingga membutuhkan operasi.

Ketika menunggu pertolongan, ia mendengar teriakan teman-temannya yang meminta pertolongan. Ia sendiri melakukan hal yang sama. Sebab, pada saat kejadian, Firda menuturkan tidak ada korban yang pingsan.

"Temen gak ada yang pingsan, tapi lemes semua. Kebanyakan sadar semua, ada yang bahunya patah, ada yang kejepit," katanya.

Orang tua Firda, Indrawati (52) mengatakan, sampai saat ini kondisi Firda sudah semakin membaik. Namun, ia belum dapat memastikan kapan Firda bisa pulang kembali ke Palembang.

"Belum tau (kapan bisa pulang), kita tunggu konfirmasi dari dokter dulu," katanya.

Sesaat setelah kejadian tersebut terjadi, Indrawati mendapat kabar dari Firda. Karena keadaan Firda yang masih sadar, ia sempat menghubungi keluarganya yang ada di Palembang.

"Anak saya (Firda) nelfon sekitar jam 12.00 siang, bapak yg nerima nelpon. Awalnya itu kita mau keluar, tapi karena mendengar kabar begitu, gak jadi. Yang saya pikirkan itu kecelakaannya di jalan. Karena kebetulan listrik mati di daerah kami, gak bisa ngeliat acara TV. Jadi pas jam 12 lewat itu baru hidup listriknya, ternyata tower itu (selasar gedung BEI yang ambruk), yang bederuk istilahnya," katanya.

Mendengar kabar tersebut, ia dan suaminya langsung memesan tiket pesawat dengan keberangkatan pukul 17.30 WIB. Ia dan anggota keluarga lainnya sampai di RSAL Mintohardjo sekitar pukul 23.00 WIB. "Kita pesan pesawat yang jam 17.30, tapi karena pesawatnya delay jadi hampir jam 20.00 malam baru berangkat (dari bandara)," tambahnya.

Indrawati mengungkapkan, Firda masuk kamar operasi sekitar pukul 23.30 WIB, dan selesai dioperasi sekitar pukul 02.00 WIB, Selasa (16/1).

Sandra (20) yang juga dirawat satu ruangan dengan Firda juga menceritakan kejadian yang menimpanya dan teman-temannya tersebut. Sebelum kejadian terjadi, Sandra mengatakan tidak mendengar alarm yang berbunyi. Yang ia ingat, kejadian tersebut terjadi begitu saja, dimana saat kejadian ia mencoba berlari keluar dari puing-puing yang menimpanya.

"Kata temen ada alarm (gak dengar) tiba-tiba ambruk, ada air, saya jatuh dan langsung berdiri dan berlari. Lari sebisa mungkin sekuatnya," kata Sandra.

Saat kejadian, Sandra mendengar kondisi dan suasana yang yang gaduh. "Orang-orang di luar menjerit-jerit, ada darah di mana-mana, dan orang-orang itu semua menyelamatkan diri masing-masing," katanya.

Setelah kejadian, ia tidak merasakan sakit apapun, dan merasa kakinya masih dapat berjalan keluar dari gedung.

"Cepet banget, gak denger. Luka gak ngerasa, yang penting ke luar dulu. Gak ngerasa sakit. Sebisa mungkin berlari," tambahnya.

Sandra pun tak menyangka, sampainya dii RSAL Mintohardjo, ia harus menerima kenyataan bahwa tulang kaki kirinya bergeser atau dislokasi.

"Kemarin pas pertama kali langsung tidak apa-apa, awalnya masih bisa digerakan. Baru dironsen sore dan baru keluar pas Maghrib dinyatakan dokter kaki kirinya, dislokasi, dan harus dilakukan tindakan gips oleh dokter," tambahnya.

photo
Menristekdikti M Nasir jenguk mahasiswa yang menjadi korban jatuhnya selasar tower 2 gedung BEI di RSCCC Siloam Semanggi, Selasa (16/1).

Untuk proses pemulihan sendiri, berdasarkan saran dari dokter, Sandra mengaku harus tetap di RS selama seminggu kedepan. "Sama ibu nanti di sini, satu minggu dulu katanya (dokter). Saya fokus penyembuhan kaki," ungkap Sandra.

Korban lainnya, Deka juga masih dirawat di RSAL Mintohardjo. Ayah korban, Ibrahim (70) mengatakan, Deka mengalami patah tulang dibagian pergelangan tangan kiri, dan mengalami retak tulang pada pinggulnya.

Ibrahim mengatakan, hari ini Deka kembali di rontgen. Rontgen tersebut dilakukan untuk mengobservasi tindakan apa yang akan dilakukan terhadap Deka selanjutnya. Sehingga, dilakukan operasi atau tidaknya terhadap Deka, tergantung hasil rontgen.

"Belum jelas mau operasi atau tidak, kita nunggu hasil (rontgen). Besok hasilnya keluar, kalau dokter bilang operasi, ya silahkan," kata Ibrahim yang menginginkan penanganan terbaik untuk anaknya tersebut.

Ibrahim yang juga datang dari Palembang untuk melihat langsing kondisi putrinya tersebut, mengaku Deka mengalami patah tulang dibagian pergelangan tangan kiri. Tulang paha Deka juga patah dan masih dalam perawatan intensif oleh pihak rumah sakit.

Nia Marniati (30) yang juga merupakan keluarga dari korban bernama Gita mengatakan, keadaan Giya sudah semakin membaik. "Trauma sama lecet dikakinya dan kepalanya sedikit," kata Nia.

Nia yang merupakan sepupu Gita mengungkapkan, Rabu (17/1) Gita sudah diperbolehkan oleh dokter untuk pulang. Sebab, Gita tidak mengalami patah tulang dan hanya mengalami luka lecet, sehingg saat ini kondisinya sudah tidak terlalu mengkhawatirkan.

Para keluarga korban yang dirawat di RSAL Mintohardjo mengaku, untuk biaya perawatan sendiri mereka tidak memikirkan. Sebab, pihak BEI telah berjanji untuk menaggung semua biaya perawatan korban. Selain itu, biaya perjalanan keluarga korban yang notabene berasal dari Palembang juga akan diganti oleh pihak Universitas.

"Sepertinya ditanggung, soalnya tadi ditanya berapa tiket dan segala macemnya. Berapa keluarga yang datang. Itu dari pihak Bina Darma," kata Indrawati, Ibu dari Firda.

Nia, yang juga merupakan sepupu dari Gita juga mengungkapkapkan bahwa untuk kepulangan Gita sendiri ke Palembang tidak ditanggung oleh keluarga.

"Pemulangannya nanti karna kita komunikasinya sama dosen (pihak universitas), jadi kalo kata dosennya tadi ya tergantung bagaimana besok. Kalau memang menurut dokter, karena masih observasi, itu sudah boleh berangkat (boleh pulang besok). Itu semua langsung di range, tiket segala macem, tapi kalau dari mana tiketnya itu gak di kasih tau. (Yang pasti) Ditanggung semua," kata Nia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement