REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Korupsi Politik ICW Donal Fariz mengatakan, mahar politik yang ada di Indonesia bisa diibaratkan seperti fenomena gunung es. Meski jumlahnya tak seberapa tapi dampak dari mahar ini akan besar, khususnya pada permasalah anggaran baik di pusat maupun di tingkat daerah.
Permasalahan mahar politik yang saat ini sudah diatur melalui Undang-undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada (Pemlihan Kepala Daerah) dan UU Nomor 7 tahun 2017 yang melarang adanya penerimaan imbalan, tetap tidak bisa diungkap sedikitpun. Padahal, mahar politik ini sudah bukan barang yang bisa disembunyikan. Sebab, banyak pihak terutama dari para calon yang ingin maju Pilkada melalui partai politik.
"Kenapa mahar poltiik ini susah diungkap, karena mahar politik ini bentuk simbiosis mutulaisme antara partai dengan kandidat yang diusung," kata Donal dalam diskusi di kantor ICW, Selasa (16/1).
Orang yang diusung dan telah memberikan mahar sebagai jalan untuk maju dalam pilkada tidak akan mau membongkar jenis dan jumlah mahar yang disyaratkan partai politik (parpol). Hanya mereka yang kecewa dan sakit hati saja yang berani walaupun agak takut dalam membeberkan persoalan mahar tersebut.
Selain itu, sulitnya membongkar mahar politik ini dikarenakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkesan acuh dengan adanya persoalan ini. Padahal, Bawaslu telah diberikan kewenangan lebih besar untuk memeriks dan mendiskualifikasi parpol atau calon yang terbukti terlibat dalam persekongkolan mahar politik tersebut.
Bawaslu diharapkan tidak hanya bertaring pada saat verifikasi parpol. Lembaga ini harus dengan konkret menindak semua permasalahan dalam penyelenggaraan pemilhan umum, termasuk adanya mahar politik yang menyalahi perundang-undangan.
"Bawaslu bisa berkoodinasi dengan penegak hukum yang juga memiliki kewenangan dalam melakukan penindakan ini, seperti kepolisian dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)," ujar Donal.
Dia juga mengungkapkan, mahar politik sebenarnya bukan hanya menyangkut pada satu atau dua parta saja, tapi hampir seluruh parpol yang ada di Indonesia juga melakukan hal serupa. Dengan adanya permasalahan yang diungkap sejumlah mantan calon kandidat, seharusnya Bawaslu bisa mencari tahu lebih dalam mengenai hal tersebut.
Alasannya, dalam aturan jelas disebutkan partai yang terbukti menerima dan mewajibkan adanya mahar politik dengan dana besar, maka partai tersebut tidak bisa ikut serta dalam pemilihan umum selanjutnya. Sedangkan, calon yang memberikan imbalan pun akan menerima konsekuensi bahwa yang bersangkutan tidak bisa mencalonkan diri dalam pemilihan.
"Dari pilkada ke pemilihan umum lainnya disebut banyak mahar politik, tapi tidak pernah ada sesuatu yang dikatikan dengan penegakan hukum. Ini ujung-ujungnya ke korupsi kepala daerah kalau memang tidak pernah dituntaskan," ungkap Donal.
Sebelumnya, kabar mengejutkan datang dari Ketua Kadin Jawa Timur La Nyalla Mattalitti terkait Pilgub Jatim 2018. Terang-terangan La Nyalla mengaku telah diminta uang mahar untuk pencalonannya sebagai cagub Jatim oleh Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Ia pun memutuskan berhenti menjadi kader partai Gerindra.
Prabowo, kata La Nyalla, meminta uang untuk saksi pilgub sebesar Rp 40 miliar. Awalnya, La Nyalla menyebut ia diminta uang ratusan miliar rupiah yang dikiranya becanda. Ternyata, itu serius. Mantan ketua umum PSSI ini tak memenuhi permintaan itu yang kemudian pencalonannya sebagai cagub Jatim pun dibatalkan.
Permintaan uang itu, menurut La Nyalla, disampaikan Prabowo pada Sabtu (10/12) di Hambalang, Bogor, saat Gerindra mengumumkan Sudrajat sebagai cagub pada pilgub Jabar. Uang itu harus diserahkan paling telat tanggal 20 Desember 2018. "Kalau tidak saya tidak akan mendapat rekomendasi," kata La Nyalla, Kamis (11/1).