REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan mahar politik kembali menyeruak menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018. Mahar politik berupa dana yang cukup besar diungkapkan sejumlah calon kandidat yang gagal dicalonkan partai politik.
Peneliti Divisi Politik Indonesia Corruption Wacth (ICW) Almas Sjahfrina mengatakan, mahar politik yang saat ini ramai dibicarakan sebenarnya bukan hal baru. Mahar ini lah yang menjadi salah satu faktor maraknya korupsi di tingkat kepala daerah. Melalui mahar yang semakin besar maka faktor korupsi kepala daerah juga lebih besar.
"Dengan adanya angka yang telah disebut dan jauh lebih tinggi dari mahar politik pilkada sebelumnya, maka korupsi di daerah setelah pilkada tahun ini akan lebih banyak," kata Almas dalam sebuah diskusi di kantor ICW, Selasa (16/1).
Almas menerangkan, dari data yang dihimpun ICW dari 2010-2017 terdapat 215 kepala daerah yang melakukan korupsi. Kasus tersebut banyak yang berkait dengan pilkada ketika mereka akan menjabat atau mempersiapkan diri untuk maju dalam pilkada selanjutnya saat pada kepala daerah ini telah menjabat. Banyaknya kasus yang berkaitan dengan pilkada tersebut juga dikarenakan adanya perjanjian di awal terkait dengan dana yang dikeluarkan pada saat Pilkada yang diikuti.
Kasus La Nyalla Mattalitti yang menyebut telah mengeluarkan anggaran Rp 5,9 miliar kepala salah satu partai politik sebagai mahar politik, memperlihatkan secara jelas bahwa terdapat 'kongkalikong' pada awal sebelum calon tersebut diusung partai politik. Bahkan, dana yang dicarikan ini disebut masih sebagian dari dana yang telah diminta sebagai anggaran untuk operasional pilkada.
Menurut Almas, dana yang dihimpun artai politik melalui mahar yang diminta kepada setiap calon kepala daerah nampakanya bukam hanya dipersiapkan untuk Pilkada 2018. Dana tersebut juga disinyalir sebagai dana bagi partai menjelang pemilihan legislatif (pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Dengan jeda waktu yang tidak lama, maka tidak akan cukup waktu bagi partai mengumpulkan dana selain saat ini.
"Makanya kursi (kepala daerah) ini diperjualbelikan, salah satunya untuk mendanai parpol (partai politik). Dan hasilnya potensi korupsi di daerah akan sangat besar baik anggaran APBN maupun APBN," ujar Almas.
ICW pun menyayangkan adanya mahar politik yang begitu besar kepada masing-masing calon kepala daerah. Karena dengan permintaan anggaran yang melibihi kemampuannya, akan banyak calon potensial yang memiliki imtegritas kemudian tersingkir disebabkan persoalan dana kampanye yang terbatas dari kantung pribadi.