Selasa 16 Jan 2018 12:32 WIB

Fredrich Yunadi: Kita Buktikan yang Maling Siapa

Mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (15/1).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa advokat Fredrich Yunadi dalam penyidikan tindak pidana dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dugaan tindak pidana korupsi proyek KTP-elektronik (KTP-el) atas tersangka Setya Novanto. Fredrich menyatakan, bahwa pemanggilannya kali ini merupakan lanjutan dari pemeriksaan sebelumnya.

"Iya yang mau melanjutkan silakan, kita buktikan yang maling siapa," kata Fredrich saat tiba di gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/1).

KPK memeriksa Fredrich sebagai saksi untuk tersangka Bimanesh Sutarjo yang merupakan dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau Jakarta Barat. "Hari ini dijadwalkan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Bimanesh Sutarjo," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi.

Sebelumnya, KPK juga telah memeriksa Fredrich sebagai tersangka terkait kasus tersebut pada Senin (15/1). Ia mengaku dicecar tujuh pertanyaan oleh penyidik KPK seputar peristiwa kecelakaan lalu lintas yang dialami Setya Novanto sampai menjalani perawatan di RS Medika Permata Hijau.

"Saya sudah jelaskan seolah-olah adanya rekayasa dari medical record, itu karangan oknum tertentu. Itu asli medical record, ada di saya," kata Fredrich di gedung KPK, Jakarta, Senin (15/1).

Fredrich dan Bimanesh diduga bekerja sama untuk memasukkan tersangka Setya Novanto ke rumah sakit untuk dilakukan rawat inap dengan data-data medis yang diduga dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghindari panggilan dan pemeriksaan oleh penyidik KPK. Keduanya pun telah resmi ditahan KPK untuk kepentingan penyidikan selama 20 hari ke depan.

Atas perbuatannya tersebut, Fredrich dan Bimanesh disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Keduanya dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement