REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung Asep Warlan Yusuf memprediksi, pola koalisi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan berbeda dengan 2014 silam. Menurutnya hal ini dapat dilihat dari koalisi saat ini, sangat susah untuk dikatakan tetap konsisten hingga 2019 mendatang.
"Pola koalisi katakanlah seperti di Pilgub DKI Jakarta sudah tidak lagi, nampak di Pilkada sekarang ini. Bahkan di Jawa Timur Partau Keadilan Sejahtera (PKS) bisa bareng satu kubu dengan PDI Perjuangan satu," ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (12/1).
Asep menambahkan, memang apa yang terjadi Pilkada Jawa Barat 2018 polanya hampir sama dengan di DKI Jakarta yang diisukan sebagai gambaran Pilpres 2019. Namun, kata Asep, hal itu tidak mencerminkan konsistensi mereka dalam membangun koalisi. Salah satunya adalah sosok Calon Gubernur (Cagub) Deddy Mizwar, yang memiliki fakta integritas yang akan mendukung presiden yang diusung oleh Demokrat, dan Koalisinya.
"Padahal jelas Deddy Mizwar itu dia pendukung Prabowo," kata Asep.
Maka dengan demikian, lanjut Asep, fakta politik di Pilkada tidak lagi mencerminkan Pilpres nantinya. Jadi pola koalisinya akan berubah lagi seperti 2014. Tidak hanya itu, Asep menduga akan sangat berbeda peta politiknya, bahkan calon presiden pun belum tentu Prabowo dengan Joko Widodo.
"Sangat tidak menjamin koalisi 2014 akan terulang lagi," ujarnya.
Lanjut Asep, memang dengan presidential treshold sebesar 20 persen memunculkan dua calon presiden saja sangat besar peluangnya, sepertihalnya pada Pilpres 2014. Namun pola koalisinya dipastikan berbeda, dan bisa juga melahirkan tiga pasangan. "Bahkan, ekstrimnya sangat mungkin Prabowo gabung dengan Joko Widodo. Hal yang tidak mustahil, seperti di Jawa Timur juga terjadi yang agak aneh," katanya lagi.