Jumat 12 Jan 2018 05:52 WIB

ICW: Waspadai 10 Masalah Klasik dalam Pilkada

Rep: Dian Fath Risalah / Red: Reiny Dwinanda
Ilustrasi uang suap.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ilustrasi uang suap.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang 2010-2017 terdapat sedikitnya 215 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Kasus-kasus tersebut terjadi dengan berbagai modus, seperti permainan anggaran proyek, suap pengesahan anggaran, korupsi pengadaan barang dan jasa, suap perzinan, hingga suap penanganan perkara.

"Angka ini merupakan angka yang tinggi dan mengkhawatirkan," kata ICW dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (11/1).

ICW mengungkapkan, jumlah kasus tersebut menggambarkan bahwa demokrasi yang tumbuh-berkembang di negara ini diselimuti persoalan korupsi.  Menurut ICW, Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 berpotensi mengulang permasalahan yang sama. Sebab, tidak ada perubahan mendasar dari demokrasi prosedural menjadi demokrasi substansial.

ICW menganggap, perubahan UU Pilkada yang secara konsisten dilakukan oleh pemerintah dan DPR belum mampu memperkuat kerangka menuju demokrasi yang lebih subtansial karena tidak banyak menjawab persoalan integritas pilkada. Alhasil, Pilkada 2018 yang akan dilaksanakan di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten/ kota masih dibayangi persoalan yang sama. 

Dalam pandangan ICW, Pilkada 2018 dibayangi oleh 10 permasalahan sebagai berikut:

1. Jual beli pencalonan (candidacy buying) antara kandidat dan partai politik.

2. Munculnya nama bermasalah (mantan narapidana atau tersangka korupsi) dan calon dengan dinasti.

3. Munculnya calon tunggal (KPU pada 10 Januari 2018 mengumumkan terdapat 19 daerah dengan calon tunggal. Tiga dari empat kabupaten/kota yang akan menggelar Pilkada di Banten bahkan mempunyai calon tunggal).

4. Kampanye berbiaya tinggi akibat dinaikkannya batasan sumbangan dana kampanye dan diizinkannya calon memberikan barang seharga maksimal Rp 25.000 kepada pemilih.

5. Pengumpulan modal illegal (jual beli izin usaha, jual beli jabatan, suap proyek, dll) dan politisasi program pemerintah (dana hibah, bantuan sosial, dana desa, dan anggaran rawan lainnya) untuk kampanye.

6. Politisasi birokrasi dan pejabat negara, mulai dari birokrat, guru, hingga institusi TNI/ Polri.

7. Politik uang (jual beli suara pemilih).

8. Manipulasi laporan dana kampanye.

9.  Suap kepada penyelenggara pemilu.

10. Korupsi untuk pengumpulan modal, jual beli perizinan, jual beli jabatan, hingga korupsi anggaran.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement