Selasa 09 Jan 2018 04:44 WIB

Aturan Melindungi Perempuan dari Kekerasan Mendesak

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Ketua Komnas Perempuan Azriana saat menjadi pembicara dalm diskusi terkait penolakan pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang di komplek parleme
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Komnas Perempuan Azriana saat menjadi pembicara dalm diskusi terkait penolakan pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang di komplek parleme

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Upaya negara dinilai masih minim dalam melindungi hak-hak perempuan. Dari tahun ke tahun tren angka kekerasan terhadap perempuan naik. Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan, dalam lima tahun terakhir ini, kasus-kasus pelaporan kekerasan perempuan naik. Karena itu, aturan yang melindungi perempuan dari tindakan kekerasan tersebut dinilai mendesak.

Dilihat dari data, kasus-kasus perceraian yang ada pada tingkat Mahkamah Agung disebabkan kekerasan dalam rumah tangga. "Kami menggunakan data sebagai data pendukung setiap tahunnya. Kalau sistemnya baik tersedia, data yang disampaikan kondisinya lebih baik," ujarnya di Jakarta, Senin (8/1).

Kekerasan terhadap perempuan menurut Nana, sapa akrabnya, tidak melulu dilihat datanya. Masyarakat, pemerintah dan lembaga-lembaga terkait harus melihat dari indikasi kesadaran masyarakat itu sendiri serta keberanian korban untuk melapor.

Saat ini, yang menjadi fokus Komnas perempuan ke depan yang pertama menurutnya adalah pembahasan rancangan undang-undang (RUU) mengenai kekerasan seksual. Upaya memberikan perlindungan yang lebih baik dalam mengakses keadilan dalam menentang kekerasan seksual. "Yang lainnya adalah revisi KUHP dan KUHP hukum acara pidana, karena beberapa perlindungan kekerasan seksual terhadap perempuan dilindungi oleh KUHP," ujarnya.

Selain itu, negara, menurutnya hanya memperhatikan dari sektor formalnya saja pada hak-hak tehadap perempuan. Padahal, dia mengatakan negara, masih punya tantangan perlindungan perempuan pada sektor informal. Meskipun begitu, Nana memuji langkah pemerintah yang sudah mengesahkan Undang-Undang Buruh Migran. Payung hukum tersebut dapat memberikan jaminan perlindungan untuk pekerja formal di dalam negeri.

"Langkah pemerintah mengesahkan UU itu perlu diapresiasi dari langkah sebelumnya, karena secara regulasi membaik," ujarnya.

Dengan disahkannya UU tersebut, pekerja rumah tangga Indonesia dapat melakukan langkah-langkah pencegahan untuk terjadinya kekerasan pekerja sektor informal atau pekerja rumah tangga Indonesia di luar negeri. "Karena kalau di dalam negeri saja tidak terlindungi, bagaimana di luar," ujarnya.

Kebutuhan adanya aturan dari sistem untuk melindungi pekerja di sektor informal menurutnya sangat penting. Hal itu juga menengok migrasi masyarakat desa ke kota. Perempuan desa tidak memeiliki banyak pilihan disaat lahan-lahan sawah menyusut. Kehidupannya tergerus karenanya. Padahal, sawah merupakan sumber kehidupan dan penghidupan di desa.

Pengetahuan masyarakat desa pun hanya terbatas. Untuk itu, Nana mengatakan pilihan bagi perempuan desa untuk melanjutkan hidupnya juga sangat terbatas. Satu-satunya jika sudah tidak ada pilihan yaitu berpindah ke tempat yang menurut perempuan desa bisa bertahan hidup, di kota. Atau bisa jadi berkerja di luar negeri sebagai pekerja rumah tangga.

"Pilihan bagi perempuan desa juga hanya dua, dikawinkan dalam usia anak atau bermigrasi untuk melanjutkan hidup," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement