Ahad 07 Jan 2018 02:59 WIB

‘Harus Ada Masa Jeda Sebelum Jenderal Maju Pilkada’

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
Salim Haji Said - Guru Besar Ilmu Politik
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Salim Haji Said - Guru Besar Ilmu Politik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Militer, Salim Said, mengatakan seharusnya pemerintah mengatur adanya waktu jeda sebelum perwira TNI/Polri terjun ke politik. Salim juga mengkritisi peraturan pencalonan kepala daerah dari kalangan militer dan kepolisian yang saling bertentangan.

"Seharusnya ada waktu tenggang antara pensiun dan ikut kegiatan politik praktis. Hal itu harus ada di UU TNI, UU Polri dan UU Pilkada supaya para pejabat negara tidak tergoda pada saat-saat terakhirnya di lembaga itu dan melakukan investasi popularitas supaya terpilih atau mendapat dukungan parpol untuk pencalonan mereka, " ujar Salim kepada wartawan usai diskusi di  Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/1).

Salim menyebutkan masa jeda idealnya berlangsung selama dua tahun terhitung sejak pensiun. Masa jeda ini hendaknya segera ditambahkan dalam berbagai peraturan yang menyangkut TNI dan Polri dalam kaitannya dengan pemilihan umum.

"Sebab undang-undangnya berantakan. Tidak terkoordinir antara satu dengan yang lain. Menurut saya UU Pilkada harus diperbaiki sehingga tidak dijadikan pegangan bagi pejabat militer yang akan maju di Pilkada tetapi baru mengundurkan diri setelah terdaftar sebagai kepala daerah. Jika begitu kondisinya akan kacau,” kata Salim menegaskan. 

Sebelumnya, Salim mengungkapkan pernah mengusulkan adanya jeda selama dua tahun sejak pensiun bagi para perwira militer yang akan terjun ke dunia politik. Usulamn tersebut disampaikan saat DPR membahas UU TNI pada 2002 lalu. Namun, kata Salim, usulan ini tidak ditindaklanjuti oleh parlemen pada saat itu.

Bukan hanya Salim yang mengusulkan masa jeda tersebut. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP Andreas Pareira mengakui memang perlu ada pengaturan terhadap jeda waktu seteleh pensiun bagi perwira militer/polisi yang akan maju sebagai calon kepala daerah di Pilkada. Dia mengatakan ada implikasi dari profesi TNI dan Polri terhadap peluang politik bakal calon kepala daerah.

Andreas menuturkan, pada saat penyusunan UU Polri dan UU TNI memang belum memperhitungkan soal waktu jeda setelah pensiun bagi mereka yang akan terjun ke politik. "Awalnya kita buat bahwa dalam UU seorang perwira terlibat dalam politik, atau mendaftar sebagai bakal calon kepala daerah, baru dia diwajibkan mengundurkan diri dari TNI/Polri. Jadi aturan perundagnan belum mengatur jeda waktu sebelum mencalonkan diri," ujar Andreas dalam diskusi di Menteng. 

Konsekuensi dari aturan yang sudah ada inilah yang pada akhirnya memperbolehkan para perwira TNI dan Polri ikut dalam Pilkada. Keikutsertaan itu bertambah sah setelah ada aturan Pilkada yang memperbolehkan mereka menjadi peserta dan mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah.

"Hanya tinggal bagaimana etika mereka dan merujuk kepada kode etik menjalankan profesinya," lanjut Andreas.

Namun, pada umumnya ditemukan sejumlah kasus di mana perwira TNI/Polri memanfaatkan jabatannya dalam mempersiapkan diri sebagai calon kepala daerah. Karena itu, dia menegaskan memang perlu ada pengaturan jeda waktu jika perwira militer dan kepolisian ingin maju sebagai kepala daerah.

"Memang kalau ingin fair, ya soal jeda waktu ini perlu diatur. Sebab ada implikasi dari aktigfitas penegakan hukum dari TNI dan Polri terhadap peluang politik. Hal ini utamanya bagi polisi yang melakukan penegakan hukum setiap hari kepada masyarakat,” tambah Andreas.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement