REPUBLIKA.CO.ID, PADANG — Nelayan bagan di Sumatra Barat kembali mendesak dibukanya dialog dengan pemerintah pusat terkait revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Tangkap Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI. Puluhan nelayan bagan mendatangi kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatra Barat untuk meminta solusi, Selasa (2/1) pagi.
Sebetulnya, polemik soal beleid tersebut mencuat sejak tahun lalu, lantaran alat tangkap nelayan di Sumatra Barat termasuk yang dilarang. Kelonggaran sempat diberikan pemerintah pusat dengan memberikan izin melaut bagi nelayan di Sumbar hingga 31 Desember 2017.
Awalnya, beleid yang diterbitkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tersebut harus dijalankan per Januari 2017. Dua kali perpanjangan izin bagi nelayan bagan di Sumbar diberikan, yakni Juni dan Desember 2017. Masalah yang kini muncul, setelah izin habis di pengujung 2017, nelayan tak berani melaut.
Mereka takut ditangkap aparat keamanan lantaran melanggar aturan yang dibuat pemerintah. Padahal, kapal bagan yang digunakan sudah turun temurun digunakan sejak lama. Nelayan mengaku butuh dana tak sedikit untuk bisa mengubah alat tangkap.
Ketua Persatuan Nelayan Bagan Sumatra Barat Hendra Halim mengatakan, terdapat dua ganjalan utama yang tertuang dalam Permen 71 tahun 2016. Pertama adalah aturan penggunaan mata jaring, yakni minimal 2,5 inchi. Padahal, nelayan di Sumbar biasa menggunakan mata jaring berukuran 4 milimeter. Alasannya, terdapat sejumlah jenis ikan yang memang berukuran kecil meski berusia dewasa.
Ganjalan kedua adalah aturan penggunaan lampu di bagan. Beleid tersebut membatasi penggunaan daya lampu sebesa 14 ribu Watt (VA). Sementara bagan-bagan oleh nelayan di Sumatra Barat biasanya mengerahkan lampu dengan daya dalam rentang 25-30 ribu Watt.
"Kami pakai lampu untuk menangkap ikan. Kalau lampu kami tidak terang, ikan tidak datang, kalau mata jaring kasar, ikan yang kami tangkap lolos," jelas Hendra usai beraudiensi dengan Pemprov Sumbar, Selasa (2/1).
Ada satu poin lagi yang dipemasalahkan nelayan dalam Permen Kelautan dan Perikanan nomor 71 tahun 2016 tersebut, yakni perihal Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Aturan tersebut mengharuskan nelayan membayar PHP hingga Rp 412 ribu per GT, untuk kapal-kapal di atas 30 GT. Sementara kapal di bawah 30 GT, PHP dipasang di angka Rp 4 ribu per GT.
Namun terpenting, lanjut Hendra, adalah kepastian bagi nelayan agar tetap bisa melaut tanpa rasa takut. "Setelah diskresi habis, kami tidak bisa melaut sementara ini. Padahal Sumbar ini, untuk perikanan tangkap dan laut yang berkembang adalah bagan," jelas Hendra.
Hendra menyebutkan, terdapat lebih dari 500 kapal bagan yang ada di Sumatra Barat. Dari angka tersebut, 250 kapal di antaranya berukuran di atas 30 GT, dan sisanya di bawah 30 GT. Nelayan-nelayan bagan di Sumbar tersebar di kawasan pesisir seperti Kota Padang, Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Agam, dan Pasaman Barat. Bila masing-masing kapal setidaknya beranggotakan 20 nelayan dan satu nelayan menghidupi tiga orang saja, maka ada lebih dari 30 ribu jiwa di Sumbar yang penghidupannya bergantung dari bagan.
Menanggapi tuntutan para nelayan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatra Barat Yosmeri berjanji akan melakukan koordinasi dan dialog dengan pemerintah pusat yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sebagai solusi jangka pendek, Pemprov Sumbar akan mengupayakan perpanjangan izin agar nelayan bagan di Sumbar bisa tetap melaut sementara waktu.
Langkah ini diambil sembari menunggu keputusan revisi atau kebijakan lain dari pemerintah pusat terkait Permen KP nomor 71 tahun 2016. "Karena ini domain pengawasan, kami akan komunikasikan dengan aparat (polisi dan TNI) untuk mencari jalan terbaik sehingga nelayan bisa aman ke laut," jelas Yosmeri.
Yosmeri juga berharap, solusi bisa segera ditawarkan oleh pemerintah pusat terkait nasib nelayan di Sumatra Barat. Pemprov Sumbar, lanjut Yosmeri, sudah melayangkan permohonan kepada aparat keamanan agar tidak sewenang-wenang melakukan penangkapan terkait aturan yang tertuang dalam Permen KP nomor 71 tahun 2016 yang masih tarik ulur dengan nelayan Sumatra Barat.
"Pak Dirjen (Perikanan Tangkap KKP) menjanjikan (surat edaran) akan dikeluarkan menyusul. Kapolda memahami, namun aparat kan menegakkan aturan. Pada prinsipnya kami menunggu surat dari pusat," katanya.