REPUBLIKA.CO.ID, CILACAP -- Menuju ke selatan dermaga Wijayapura, Cilacap menyeberangi selat di selatan Pulau Jawa sejauh beberapa kilometer, tibalah Republika.co.id di Pulau Nusakambangan. Republika mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi pulau yang namanya kerap diasosiasikan dengan Lembaga Permasyarakatan alias lapas.
Kali ini, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengajak sejumlah pejabat tinggi seperti Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Deputi Pemberantasan Narkoba Badan Narkotika Nasional Arman Depari dan sejumlah pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Yasonna ingin menunjukkan 'hotel-hotel' terbaru yang dikelola kementeriannya pada para pimpinan penegak hukum di Indonesia tersebut.
Sesampainya di Dermaga Sodong, Pulau Nusakambangan, kendaraan pun memasuki belantara pulau Nusakambangan. Romobongan pun tiba di sebuah Lembaga Permasyarakatan dengan nama Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu High Risk. Lapas ini akan difungsikan untuk para narapidana narkotika kelas berat.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pembangunan lapas super maksimum ini ditujukan untuk bandar narkoba yang ditengarai bisa membangun jaringan. Ia mengklaim, lapas ini dilengkapi CCTV yang ada dalam setiap ruangan. "One person one room, dimonitor CCTV tidak mungkin keluar, karena dimonitor 24 jam," kata Yasonna saat melakukan kunjungan di Lapas, Jumat (22/12).
Saat ini, Lapas tersebut belum berpenghuni. Nantinya, penghuni lapas tersebut akan ditentukan melalui asesmen yang akan dilanjutkan oleh Polri maupun Badan Narkotika Nasional yang merupakan stakeholder utama dalam penanganan Narkotika di Indonesia. "Ini betul-betul kami kerja sama dengan Polri, BNN yang akan betul-betul menentukan orang orang yang memiliki jaringan kita lock up betul betul disini," ucap Yasonna.
Lapas ini hanya menampung sebanyak 90 narapidana narkotika saja. Menurut Yasonna, tahanan hanya bisa keluar saat konseling. Saat keluarga membesuk, para narapidana bahkan tidak berhadapan dengan tamu. Para pembesuk akan dibatasi alat kaca fiber tebal. Komunikasi pun dilakukan melalui iPhone agar pembicaraan bisa direkam.
"Memang persoalan privasi, suami istri rindu ya kan rindu aja jangan macem macem, tapi intinya itu kita buat supaya tidak bisa lagi ada pembicaraan kurir (narkotika), jadi betul betul kita rekam. Ini untuk orang yang betul betul berpotensi memiliki jaringan," kata Yasonna menjelaskan.
Sayangnya, Republika dilarang untuk melihat lebih jauh ke dalam lapas. "Kalian gak boleh lihat yah, tujuannya supaya betul betul kalian tidak menyebarkan ke dunia luar ya, strategi keamanan," kata Yasonna pada awak media.
Deputi Pemberantasan Narkotika Inspektur Jenderal Arman Depari yang turut hadir dalam peninjauan itu memuji perencanaan lapas tersebut. Arman memandang lapas ini sebagai bangunan yang memadai untuk penanggulangan narkotika. Apalagi, lanjut dia, teknologi yang diterapkan di lapas ini cukup mumpuni.
"Tentu saja dalam hal ini bukan hanya soal mengurung orang, tetapi bagaimana memutus jaringan, oleh karena itu pemutusan jaringan ini dengan sistem penjara atau cell ini," kata Arman.
Tugas BNN, kata Arman, dalam hal ini akan menyeleksi jaringan atau napi yang masih ada kaitannya dengan jaringan di luar. "Sehingga dengan kita pisahkan nanti, dengan satu sel isolasi khusus mereka tidak akan menyebarkan jaringan," ucapnya lagi.
Perjalanan dilanjutkan lebih dalam lagi ke dalam pulau Nusa Kambangan. Maka tibalah di sebuah lapas dengan pengamanan yang tampak lebih ketat. Pagar setinggi enam meter tampak mengelilingi kompleks bangunan gedung berwarna abu-abu tersebut.
Lapas ini adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A High Risk yang akan difungsikan untuk para narapidana terorisme. Sesuai namanya, lapas ini khusus untuk narapidana terorisme berisiko tinggi yang dikhawatirkan mengganggu proses sistem pembinaan di lapas konvensional.
Lagi-lagi, Republika dan sejumlah awak media lainnya tidak diperkenankan memasuki kompleks lapas tersebut dengan berbagai alasan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lapas ini, diproyeksikan untuk menjadi Lapas dengan taraf keamanan maksimum atau Super Maximum Security (SMS).
Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang juga turut hadir dalam kunjungan tersebut, lapas ini akan berfungsi baik hanya jika dijalankan dengan baik. Ttio pun mengakui, kepolisian membutuhkan lapas ini untuk menempatkan para terpidana terorisme, khususnya gembong atau inti dari kelompok teroris. Dalam sebuah jaringan terorisme terdapat sejumlah peran seperti inti core, operative suporter pendukung dan simparisan.
"Di sini yang ditempatkan adalah core inti mereka yang merupakan jantung jaringan. Ketika mereka ingin melemahkan jaringan itu, jantung inilah yang akan kita ambil, jantung ini lah dipindahkan di maksimum security prison," katq Tito menegaskan.
Hal ini bertujuan agar para gembong terorisme itu tidak memiliki hubungan dengan dunia luar. Namun, Tito menilai isolasi tersebut masih cukup manusiawi. Para narapidana masih mendapatkan jatah pertemuan dengan keluarga. Hanya keluarga inti. "Saya pikir bagus sekali tinggal manajemen personelnya," kata Tito.
Direktur Keamanan dan Ketertiban Ditjen PAS, Sutrisman, menuturkan secara teknis Lapas High Risk juga akan diterapkan dalam hal pengamanan dan pembinaan. Pembinaan tetap dilakukan dengan berdasarkan Sistem Pemasyarakatan, namun dengan pendekatan berbeda dengan narapidana golongan non high risk. "Bila narapidana biasa diterapkan metode pembinaan Mass Aproach (pendekatan masal) dan Individual Approach (pendekatan individu), Lapas High Risk hanya menerapkan pembinaan Individual Approach," kata dia.
Narapidana high risk tetap diberikan kebebasan beribadah, konseling, olahraga, dan hak-hak yang telah ditentukan lainnya sesuai dengan peraturan perundangan.