REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyebutkan beberapa alasan penyebab lembaganya mengalami defisit hingga sembilan triliun rupiah.
Asisten Deputi Direksi Bidang Pengelolaan Fasilitas Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Beno Herman, mengatakan sebagai badan penyelenggara program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) mengakui telah mengalami defisit sekitar sembilan triliun rupiah tahun ini. "Defisit atau ketidaksesuaian antara iuran dengan pelayanan kesehatan (mismatch) terjadi karena iuran yang diterima tidak sebanding dengan biaya yang kami keluarkan," katanya pada diskusi publik Catatan Wajah Sistem Kesehatan Indonesia 2017 dengan topik Mensiasati Defisit BPJS dan Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Era JKN, di Jakarta, Selasa (19/12) lalu.
Padahal, kata dia, di regulasi menyatakan BPJS Kesehatan mendapat dana dari iuran peserta. Meski BPJS Kesehatan berkeinginan mendapatkan dana iuran dari peserta kemudian semaksimal mungkin untuk pembiayaan seperti biaya operasional tetapi ternyata lembaganya mengalami defisit. Selain mismatch, kata dia, sebagai lembaga yang punya pengalaman 40 tahun di Asuransi Kesehatan (Askes) punya perhitungan aktuaria masalah iuran peserta.
"Misalnya iuran kelas III yang pantas ketika perhitungannya seharusnya Rp 36 ribu namun menjadi Rp 23 ribu kan sudah terbayang. Pola seperti ini ya pastilah (defisit)," ujarnya.
Selain penerimaan iuran yang tidak bertambah banyak, ia juga menyinggung moral hazard peserta JKN-KIS utamanya Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Ia menyinggung banyak peserta JKN-KIS yang ketika sakit dan kemudian sudah mendapatkan pelayanan kesehatan ternyata tidak membayar lagi.
"Padahal, biaya banyak dihabiskan oleh PBPU yang ketika sakit, masuk (RS), dan tidak membayar lagi. Itu masalah kita," ujarnya.
Beno menegaskan JKN-KIS adalah program gotong royong, yang tak hanya dilakukan Penerima Bantuan Iuran (PBI) melainkan juga PBPU, Pekerja Penerima Upah (PPU), hingga mandiri.