Ahad 17 Dec 2017 05:01 WIB

Jangan Baca Tulisan Ini!
: Buzzer Bayaran dan Tahi Kucing Rasa Coklat

Media sosial
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Media sosial

Oleh Abdullah Sammy

Mohon maaf, saya bukan tak ingin anda semua membaca tulisan ini. Justru dengan judul di atas, saya ingin memakai eksperimen psikologi terbalik yang dicetuskan dua orang filsuf asal Jerman Theodor Adorno dan Max Horkheimer.

Metode ini memanfaatkan emosi negatif dalam diri manusia, yang mana tiap orang punya kecenderungan untuk melawan arahan atau perintah. Jadi sebenarnya dengan judul perintah untuk tidak membaca, saya justru ingin Anda semua untuk membaca tulisan ini.

Alhamdulillah, sampai pada paragraf ini anda-anda masih membaca tulisan ini. Kebetulan pula bahasan dalam tulisan ini tersangkut paut dengan dunia psikologi.

Ini ada hubungannya pula dengan psikologi terbalik yang membalik rasionalitas. Ini terkait tingkah polah manusia yang punya kecenderungan untuk berpikir irasional.

Pemenang nobel bidang ekonomi, Robert Shiller, punya sebuah teori tentang tingkah polah manusia yang irasional ini. Lewat bukunya berjudul The Economics of Manipulation and Deception, Shiller menggarisbawahi bahwa tindakan irasional seorang manusia bisa dihasilkan lewat manipulasi yang dilakukan manusia lain.

Shiller mencontohkan tingkah irasional manusia dari sisi ekonomi. Dia menyoroti bagaimana manipulasi strategi marketing bisa membuat manusia lupa diri dalam menghabiskan seluruh uangnya. Sehingga kita kemudian mengenal istilah 'lebih besar pasak daripada tiang'. Karena terdorong emosi dan nafsu, manusia jadi menomorduakan akal sehat dalam mengatur keuangannya.

Shiller juga turut mengutip buku karya Robert Cialdini berjudul Influence: Science and Practice. Dalam buku dijelaskan konsep social proof. Konsep ini adalah kecenderungan manusia merasa tindakannya benar apabila mengikuti tindakan yang dilakukan orang kebanyakan.

Di Indonesia pembuktian akan konsep social proof ini cukup sederhana. Kita cukup melakukan eksperimen di tengah jalan raya. Saat ada lima pengendara motor yang tiba-tiba berhenti di pinggir jalan sambil memandang ke arah yang sama, niscaya akan ada pengendara lain yang mengikuti tindakan kelima pengendara itu.

Tindakan ini bagian dari tingkah irasional yang kerap kita juga lakukan di jalanan. Padahal secara rasional kita sendiri tak tahu apa yang dilihat dan siapa kelima pengendara yang berhenti itu.

Konsep social proof juga bisa berarti manusia merasa benar jika mengikuti tindakan manusia lain yang diakui 'benar' oleh orang kebanyakan. Ini bisa tercermin dengan cara marketing perusahaan yang memakai sosok selebritis yang punya banyak followers dalam memasarkan produknya.

Masyarakat yang jadi followers si seleb punya kecenderungan untuk tertarik lebih jauh pada produk yang diiklankan si seleb tersebut. Semua bukan karena rasionalitas dalam menilai kualitas atau kebutuhan akan produk yang diiklankan tersebut. Melainkan karena irasionalitas karena ingin mengikuti atau percaya atas si seleb

Karena itu dewasa ini kita kerap melihat banyak selebritas yang menjadikan akun sosial medianya untuk mengendorse sebuah produk tertentu. Semua ini jadi bukti tentang social proof yang dipakai oleh marketing sebuah perusahaan.

Walhasil, dengan strategi yang memantik irasional manusia, akhirnya logika jadi nomor dua. Pada akhirnya tak jarang dari konsumen yang jadi korban akibat terus mengonsumsi barang atas pertimbangan irasional tersebut. Produsen yang kaya akhirnya semakin kaya, sedangkan konsumen nasibnya begitu-begitu saja.

Social proof ini akhirnya mengantarkan masyarakat terperdaya oleh pencitraan dan iklan. Media pun akhirnya jadi alat utama untuk melanggengkan manipulasi manusia atas manusia. Secara tak sadar, media tak lagi jadi alat untuk mendidik masyarakat untuk menjadi rasional. Tapi sebaliknya, media justru punya kecenderungan menggiring masyarakat jadi irasional.

Itulah kenyataan yang semakin mewabah zaman now. Konsep yang memanfaatkan sisi irasional manusia juga tak hanya terjadi di sektor ekonomi, melainkan di segala sisi, termasuk politik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement