Ahad 17 Dec 2017 05:01 WIB

Jangan Baca Tulisan Ini!
: Buzzer Bayaran dan Tahi Kucing Rasa Coklat

Media sosial
Foto:
Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).

Dalam konteks politik, strategi social proof memang bukan barang baru. Ini utamanya dalam meyakinkan pemilih. Dengan kekuatan modal, seseorang bisa membangun pencitraan positif di media. Seseorang pun bisa menyewa buzzer-buzzer di sosial media sehingga mengesankan afiliasi politiknya sebagai arus utama.

Di Indonesia yang baru saja mengenal pemilihan langsung sejak 2004, strategi social proof sudah dilakukan sejak awal. Di 2004, kita masih mengingat bagaimana polling-polling via telepon begitu krusial dalam medongkrak elektabilitas SBY.

Memasuki periode 2009, era polling via telepon sudah berlalu. Datanglah era survei-survei-an lembaga politik. Ini pun jadi sarana untuk membentuk social proof sejak 2009. Walhasil mulai bermunculan-lah lembaga survei dari yang kredibel sampai yang abal-abal.

Memasuki era 2014, sarana social proof makin bergeser. Survei oleh lembaga-lembaga masih jadi sarana untuk mempengaruhi pemilih. Tapi muncul pula satu sarana lain via sosial media. Sarana untuk mempengaruhi itu adalah dengan mengandalkan selebritis atau 'tentara bayaran' di media sosial. Ini guna menciptakan arus popularitas, atau trending di dunia maya.

Tentara bayaran ini bekerja untuk membentuk opini di media sosial. Yang celaka, tentara bayaran bahkan bisa masuk ke dunia jurnalistik.

Dalam level yang paling rendah, tentara bayaran ini bekerja di kolom komentar laman pemberitaan. Mereka umumnya bekerja untuk mengomentari setiap berita yang terkait jagonya atau lawan politiknya.

Tapi ada level yang lebih tinggi, tentara bayaran ini bisa membentuk laman berita sendiri. Mereka juga bisa bermetamorfosis sebagai narasumber bahkan penulis. Apa pun itu levelnya, tugas mereka hanya dua; mengangkat citra atau menghancurkanya.

Ya, era 2014 telah menghasilkan transformasi baru. Social proof tak hanya dilancarkan untuk memanipulasi rasa simpati irasional pemilih. Sebaliknya, social proof bisa dilakukan untuk memanipulasi masyarakat untuk membenci secara irasional pula.

Rasa benci dan cinta dalam politik akhirnya didasari pertimbangan irasional pula. Yang cinta merasa junjungannya selalu benar. Yang benci merasa yang dibenci selalu salah. Konsep benar salah pun diakuisisi menjadi barang privat.

Sayangnya, kenyataan ini yang kini terjadi di tengah masyarakat kita yang terbelah pada dua preferensi politik berbeda. Walhasil, situasi politik di tengah masyarakat jadi begitu semerawut, bak benang kusut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement