Ahad 17 Dec 2017 05:01 WIB

Jangan Baca Tulisan Ini!
: Buzzer Bayaran dan Tahi Kucing Rasa Coklat

Media sosial
Foto:

Suka atau tidak, fenomena benang kusut ini merupakan efek usai Pilpres 2014. Rivalitas head to head antara Jokowi dan Prabowo masih memisahkan masyarakat pada dua kutub politik yang padat.

Masyarakat yang simpati pada Jokowi akhirnya kini menjadi pro pemerintah. Sebaliknya yang tidak memilih Jokowi mengambil posisi sebagai kekuatan oposan. Sampai pada titik ini sejatinya tak ada masalah.

Tapi buah karya tentara bayaran telah berefek pada munculnya kalangan irasional di kedua belah kubu. Celakanya jumlah simpatisan irasional di kedua kubu sama-sama besar.

Kalangan irasional di kubu pro Jokowi menganggap apa yang pemerintahan Jokowi lakukan selalu benar. Sebaliknya yang kontra menilai, semua problematika dalam negara ini adalah salah Jokowi.

Situasi ini semakin meruncing lepas Pilkada DKI. Sekalipun polarisasinya tak 100 persen sama, tapi suara masyarakat irasional tetap terbelah secara identik. Pemilih irasional Jokowi adalah pemilih irasional Ahok. Pun halnya pemilih irasional Prabowo adalah pemilu irasional Anies Baswedan.

Lucunya situasi semakin kusut usai Pilkada DKI. Ketika Anies yang sekarang berkuasa, maka dua kubu ini pun ganti baju. Kubu irasional yang satu mendukung penuh Jokowi, tapi berusaha mendelegitimasi Anies di DKI. Pun sebaliknya.

Padahal kesuksesan Anies dalam membangun DKI sejatinya turut pula membantu kesuksesan Jokowi dalam membangun Indonesia. Tapi masyarakat irasional sudah tak peduli soal itu. Bagi mereka konsep kesuksesan adalah saat junjungannya meraih kuasa, sedangkan lawan politik porak poranda.

Banyak yang kemudian bersuara bahwa segala kesemrawutan politik terjadi karena isu SARA ditarik ke ranah politik. Banyak kemudian yang mengaitkan hal ini dengan Pemilu DKI 2017 lalu. Padangan yang bisa benar atau sebaliknya. Mari kita uji secara seksama.

Kapan sebenarnya isu SARA mulai dijadikan strategi untuk menyerang lawan politik? Apakah baru dilancarkan Obor Rakyat pada Jokowi 2014 lalu?

Sejatinya pada 2009 pun isu SARA sudah dijadikan kampanye hitam di sebuah "
'surat kabar kuning'. Serangan isu hitam itu adalah soal agama Ani Yudhoyono yang dituding non-muslim.

Tapi sejak awal, SBY lihai dalam menempatkan strategi. Serangan hitam itu tak digubris yang membuat SBY justru mendapat simpati. Isu SARA yang sejak awal dihembuskan pada 2009, nyatanya tak pernah mempan memengaruhi pemilih.

Lantas bagaimana dengan Pilkada DKI 2017? Apakah ada isu yang menyinggung SARA yang berhembus?

Mengatakan Pilkada DKI tak ada isu SARA adalah omong kosong. Tapi tak hanya satu pasangan yang terkena hantaman isu SARA, melainkan seluruhnya.

Ada yang dihantam soal isu Syiah, Wahabi, non-musim, hingga identitas ras. Tapi pertanyaannya kemudian apakah memilih dengan dasar kepercayaan itu SARA? Pertanyaan yang jawabannya bisa beragam. Yang jelas SARA adalah tindakan yang serius yang punya konsekuensi hukum.

Itu artinya, siapapun yang bermain SARA di DKI bukan divonis opini via social proof. SARA mesti dibuktikan secara hukum. Dan hukum Indonesia sudah menjerat siapa-siapa pelaku SARA selama Pilkada DKI kemarin. Jika mengaku cinta NKRI maka hukumlah yang dijadikan panglima, bukan justru opini apalagi social proof yang menentukan siapa pelaku SARA.

Apa pun itu, bagi pendukung yang lanjur berpikir irasional, fakta sudah tak fundamental. Mereka lanjur percaya pada opini dan social proof yang dimainkan oleh tentara bayaran.

Sejatinya dalam kondisi seperti ini media mesti memegang peranan penting. Memang, media bukannya tak bebas nilai. Media bukan tak boleh dalam menyikapi fenomena politik. Sah-sah saja jika media kemudian punya preferensi. Namun semua itu harus pada pertimbangan rasionalitas dan objektivitas.

Jadi celaka jika media justru bertindak irasional dalam pemberitaannya. Saya ingin mengambil contoh saat sebuah media mengutip pernyataan Boni Hargens yang menyatakan lawan Jokowi di 2019 adalah kalangan radikal. Sebuah pernyataan yang bisa dikritisi tingkat rasionalitasnya. Rasio paling mudah adalah mempertanyakan siapakah Boni, relawan Jokowi atau pengamat?

Kedua apakah sentimen itu sesuai logika atau bagian dalam memanipulasi orang dalam berpikir irasional?

Kata demi kata pada akhirnya sulit untuk menggoyahkan orang yang sudah berpikir irasional. Ibarat orang yang sudah jatuh cinta, niscaya sia-sia memberi mereka nasehat.

Seperti kata Gombloh dalam lagunya berjudul Lelucon Pendek, "Kalau cinta (sudah) melekat, tai kucing (terasa) coklat."

Begitu pun kalau sudah benci sudah membara, coklat bisa terasa seperti tahi kuda!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement