REPUBLIKA.CO.ID, Tumpukan barang-barang bekas (rongsokan) yang dimasukkan dalam ratusan buah karung tampak menggunung di salah satu rumah warga di Desa Lemahtamba, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jumat (8/12). Rumah tersebut milik salah seorang bos rongsokan yang ada di desa tersebut. Di depan rumah itu, tampak sejumlah pekerja sedang menurunkan karung-karung lainnya, yang juga berisi barang yang sama, dari atas sebuah mobil bak terbuka, hingga menambah tumpukan yang sudah ada.
Tak hanya di rumah itu, pemandangan serupa juga terlihat di banyak rumah lainnya di desa tersebut. Rumah-rumah itu menampung barang-barang rongsokan yang telah dikumpulkan dari berbagai daerah untuk dijual kembali. Mobil bak maupun truk yang mengangkut tumpukan karung berisi rongsokan pun dengan mudahnya terlihat hilir mudik dijalanan Kecamatan Panguragan.
Selain di Desa Lemahtamba, usaha rongsokan juga dilakukan warga dari tiga desa lainnya di Kecamatan Panguragan, yakni Desa Panguragan, Panguragan Kulon, dan Panguragan Wetan. Usaha itu digeluti warga di kecamatan tersebut bahkan diperkirakan sejak sebelum zaman kemerdekaan. ''Ya memang (Kecamatan Panguragan) dikenalnya sebagai desa rongsokan,'' kata Camat Panguragan, Udin Syafrudin, saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (8/12).
Syafrudin menyebutkan, jumlah warga di kecamatan yang dipimpinnya ada 44.556 jiwa. Jumlah warga itu tersebar di sembilan desa.
Dari jumlah 44.556 jiwa tersebut, Syafrudin menyebutkan, 35 persen di antaranya memiliki mata pencaharian di bidang rongsokan. Sentra rongsokan tersebar di Desa Lemahtamba, Panguragan, Panguragan Kulon dan Panguragan Wetan. Selain menjadibos rongsokan, adapula yang menjadi pengepul dan pekerjanya.
Dengan menjadi pengepul, maka warga tersebut berkeliling mencari barang rongsokan. Setelah diperoleh, barang rongsokan itu disetorkan kepada bos rongsokan. Dengan demikian, bos rongsokan hanya tinggal duduk manis menunggu setoran barang rongsokan dari para pengepul dan pekerjanya.
Setelah sampai di tangan bos, barang rongsokan kemudian disortir sesuai dengan pesanan. Barang hasil sortir itu lantas dikirim ke pabrik-pabrik besar di berbagai kota besar yang sudah menjadi langganan mereka.
Menurut Syafrudin, untuk mengumpulkan barang rongsokan itu, warganya sampai berkeliling ke banyak daerah. Tak hanya di sekitar wilayah Cirebon, namun sampai luar provinsi dan luar pulau, salah satunya Papua.
''Dulu sebelum Timor Timur lepas dari Indonesia, warga Panguragan juga ada yang mencari rongsokan sampai ke sana,'' tutur Syafrudin.
Menurut Syafrudin, barang rongsokan selama ini mampu menopang perekonomian warganya. Perputaran uang yang dihasilkan dari barang tersebut bahkan bisa mencapai miliaran rupiah per bulannya. Belasan ribu warga di desa itupun bisa memperoleh pekerjaan dan terlepas dari pengangguran.
Hal itu seperti yang diungkapkan salah seorang warga Desa Panguragan, Taduki (50). Dia mengatakan, bisnis rongsokan di desanya telah mampu memberinya penghasilan pada saat areal persawahan di desanya sedang tidak membutuhkan buruh tani seperti dirinya.
"Kalau musim tanam dan panen selesai, saya memulung rongsokan. Untuk kebutuhan makansehari-hari," tutur Taduki, saat ditemui sedang mencari plastik bekas di salahsatu tempat pembuangan sampah di Desa Panguragan Kulon.
Sementarai tu, selain bisa menghidupi warga, buah manis dari usaha rongsokan juga bisa terlihat dari rumah-rumah mewah yang ada di Kecamatan Panguragan. Belum lagi hamparan sawah, mobil, dan pendidikan tinggi yang dienyam para putra putri bos rongsokan.
Namun, usaha di bidang 'sampah' itu memang memiliki dampak lain. Barang rongsokan hasil sortiran yang tidak terpakai akhirnya memang benar-benar menjadi sampah yang mengotori lingkungan. Kondisi itu diperparah dengan tidak adanya fasilitas tempat pembuangan akhir sampah di kecamatan tersebut.
Apalagi, di daerah itu juga tidak ada perusahaan yang bergerak di bidang daur ulang sampah. Barang rongsokan yang telah terpilih akan langsung dikirim ke pihak pemesan dansisanya akan dibuang begitu saja. "Ke depan, saya inginnya ada seperti itu (usaha daur ulang). Tapi pengusaha di sini jalan sendiri-sendiri, tidak mau bergabung. Mereka punya link sendiri,'' tutur Camat Syafrudin.
Sementara itu, buah manis dari usaha rongsokan itu salah satunya dirasakan oleh seorang bos rongsokan asal Desa Panguragan Kulon, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Kusyono. Di balik sikapnya yang bersahaja dan penampilannya yang sederhana, dia menikmati keuntungan hingga Rp 60 juta per bulan dari usaha rongsokan.
Kusyono menuturkan, usaha rongsokan telah dimulainya sejak 2003 silam. Saat itu,dirinya masih menjadi anggota polisi di Polsek Panguragan.
Kusyono memulai usahanya dari nol. Selepas menjalankan tugasnya sebagai polisi, dia langsung berganti pakaian lusuh dan mulai memulung barang rongsokan. Dia mencari barang rongsokan dari satu tempat ke tempat lainnya.
Semakin lama, usaha rongsokan yang dijalankan Kusyono semakin berkembang pesat. Dia pun mulai memiliki karyawan. Saat ini, jumlah karyawannya mencapai 40 orang.
Usaha rongsokan yang semakin menyita waktunya, akhirnya membuatnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepolisian dengan pangkat terakhir Aiptu pada 2013 silam. Padahal, dirinya sudah mengabdi menjadi anggota polisi sejak 1984 silam.
"Kalau fokus ke rongsokan, nanti korupsi waktu di kepolisian, merugikan negara. Jadi saya memilih mengundurkan diri dari kepolisian," tutur Kusyono, yang mengkhususkan usahanya pada besi rongsokan.
Dari hasil usaha itu, Kusyono bisa memiliki sejumlah rumah, kendaraan, maupun menunaikan ibadah haji. Dia juga aktif dalam berbagai bidang sosial kemasyarakatan. "Untuk mengimbangi rejeki, memang harus banyak kegiatan sosial," tandas Kusyono.