REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kematian tokoh teroris ISIS asal Solo, Jawa Tengah, Bahrun Naim masih menjadi misteri. Polri pun masih belum bisa memastikan kebenaran kematian pria yang dikabarkan ikut bertempur di Suriah itu.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Polisi Martinus Sitompul mengatakan, dalam hal ini Polri masih menggali informasi ke berbagai pihak termasuk negara yang bekerja sama atau negara counterpart. "Seperti Amerika, Inggris, kan mereka sama sama perangi ISIS kan di sana, nah memerangi ISIS itu saling bertukar informasi," kata Martinus di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (8/12).
Martinus mengatakan, bila suatu negara melakukan penangkapan pada seorang terduga teroris, maka negara lain akan saling memberi informasi. Hl tersebut telah menjadi kewajiban antarnegara. "Itu jadi kewajiban negara-negara Interpol, akses semua kita buka, sampai saat ini engga ada informasi (meninggalnya Bahrun Naim)," kata Martinus.
Martinus juga menyebutkan, bisa jadi isu kematian Bahrun Naim merupakan upaya dari teroris untuk mengelabui Polri. "Bisa jadi itu untuk mengkelabui, trik-trik mereka," kata Martinus.
Sebelumnya, berita tewasnya Bahrun Naim tersebar melalui tangkapan layar (screenshot) sebuah grup percakapan aplikasi percakapan yang tersebar di media sosial. Informasi tersebut pun masih didalami oleh Polri. "Ini termasuk sebuah pendalaman kita terhadap media sosial yang siapa yang mengawali penyebaran informasi ini, sehingga kita bisa ketahui dari sumbernya apa," kata Martinus.
Bahrun Naim mulai muncul ketika ditangkap Densus 88 pada pada 2010 karena menyimpan senjata api dan amunisi yang disebutnnya sebagai titipan dari seorang buron kasus terorisme. Bahrun Naim juga disebut sebagai dalang aksi teror bom Thamrin, Jakarta Pusat, pada Januari 2016. Bahrun yang kerap disebut sebagai pimpinan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) ini merekrut sejumlah teroris dari Indonesia.
Bahrun juga kerap mengajarkan cara membuat bom melalui grup-grup Telegram internal teroris. Selain itu, Bahrun sering dikaitkan dengan kelompok jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso.