REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Dalam dua tahun terakhir, terjadi dua perkelahian antarpelajar di Bogor yang sampai menyebabkan siswa meninggal. Setelah Januari 2016 lalu melibatkan pelajar dari dua SMA swasta di Kota Bogor, pekan lalu kembali terjadi di tingkat SMP. Tepatnya pada Jumat (24/11), enam pelajar dari SMP Islam As dan SMP Islam A duel di Rumpin, Bogor.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menjelaskan, masing-masing kasus memang memiliki penyebab dan teknis berbeda. Tapi, tetap dibutuhkan pendekatan komprehensif. "Bukan case by case, melainkan menyeluruh," ujarnya kepada Republika.co.id di Rumpin, Bogor, Selasa (28/11).
Komprehensif yang dimaksud, jelas Susanto, misalnya, bagaimana membangun sistem sekolah ramah anak hingga mengajak masyarakat terlibat. Penguatan basis di lingkungan satuan pendidikan, termasuk guru dan OSIS juga harus jadi pertimbangan solusi agar anak tidak rentan melakukan kekerasan kembali.
Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti, menjelaskan, kasus tawuran tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah. Pendidikan karakter kan juga dibangun di rumah, jadi keluarga juga harus terlibat sehingga lebih menyeluruh, ujarnya.
Lebih lanjut, Retno mengatakan, KPAI menyerukan untuk tidak acuh terhadap kondisi yang akan membahayakan anak, termasuk di kalangan masyarakat umum. Contohnya, tidak membiarkan anak membawa senjata tajam sembarangan seperti yang kebablasan di kasus Rumpin ini.
Tugas masyarakat luas, disampaikan Retno, adalah mencegah anak-anak berlaku tindakan kekerasan maupun hal negatif lain yang membahayakan anak. "Kita semua harus ikut peduli untuk menjaga masa depan anak-anak," ucapnya.