Selasa 21 Nov 2017 13:19 WIB

Dedi Mulyadi Ogah Berspekulasi Soal Perubahan Rekomendasi

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua DPD I Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi melambaikan tangan kepada para wartawan usai rapat DPD Golkar Provinsi, di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Senin (20/11).
Foto: Antara/Reno Esnir
Ketua DPD I Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi melambaikan tangan kepada para wartawan usai rapat DPD Golkar Provinsi, di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Senin (20/11).

REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA --  Pascapenahanan Ketua Umum Golkar, Setya Novanto oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK), belum mengubah apapun mengenai surat rekomendasi bakal calon gubernur/wakil gubernur Jabar 2018. Bahkan, Ketua DPD Partai Golkar, Jabar, Dedi Mulyadi, enggan berspekulasi mengenai rekomendasi itu. "Ketimbang mengurusi rekomendasi DPP, lebih baik fokus pada pengkaderan partai di Jabar saja," ujar Dedi, kepada Republika.co.id, Selasa (21/11).

Bupati dua periode ini, tak ingin membahas lebih jauh apakah rekomendasi untuk bakal calon di Pilgub Jabar bisa berubah atau tidak. Semuanya, diserahkan saja pada DPP.

Akan tetapi, lanjut Dedi, ada yang perlu diingat dan ditegaskan. Jenjang pengkaderan ini sudah menjadi tradi di di partai mana pun. Apalagi, di Golkar yang merupakan partai besar dan legenda. Tentunya, kaderisasi ini sangatlah penting.

Namun, belakangan jenjang kaderisasi ini terlupakan. Sepertinya, ada berbagai bisikan memengaruhi pengambilan keputusan di internal partai. Sehingga, berakibat fatal dan kontraproduktif. "Pola rekrutmen kader yang sudah berjenjang dan menjadi tradisi di Golkar saya kira sudah lama tidak berjalan dengan baik, tidak lagi berpijak pada sistem, mekanisme dan aturan partai," ujarnya.

Kondisi ini, harus segera diubah. Sebab, kebijakan berdasarkan bisikan ini jelas sangat tidak baik. Apalagi, untuk partai politik. Biar bagaimanapun, kader lebih punya prioritas. Tetapi, dengan kasus rekomendasi untuk Pilgub Jabar, dimana Ketua Setya Novanto lebih memilih bakal calon di luar kader, Dedi menilai itu bisa dipahami. Sebab,  dia mengatakan, bisa saja ketua umum saat itu terdapat latar belakang beban psikologis, sosiologis ataupun ada faktor lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement