Kamis 23 Nov 2017 19:56 WIB

Rumah Murah untuk yang Berhak, Siapa Mereka?

Pekerja menyelesaikan pembuatan rumah subsidi pemerintah program sejuta rumah murah (Ilustrasi)
Foto: Antara/Prasetia Fauzani
Pekerja menyelesaikan pembuatan rumah subsidi pemerintah program sejuta rumah murah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Sejak di tingkat sekolah dasar kita telah dijelaskan bahwa ada tiga kebutuhan pokok manusia, yakni sandang, pangan dan perumahan.  Di dalam UUD 1945, juga ditegaskan pada Pasal 28 Huruf H Pasal 1 yang isinya, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".

Rumah pada akhirnya menjadi kebutuhan dasar setiap rumah tangga, baik diperoleh dengan cara membeli, perjanjian sewa ataupun hibah karena warisan atau pemberian. Di Indonesia, seiring terus meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan rumah juga ikut naik.

Berdasarkan data BPS yang dilansir PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan perumahan, kebutuhan rumah di Indonesia mencapai 1,46 juta per tahun. Dengan asumsi satu rumah Rp200 juta, maka biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 292 triliun.

Angka ini dengan mengacu jumlah penduduk Indonesia 258,7 juta orang, pertumbuhan 1,36 persen per tahun, maka kebutuhan akan rumah adalah 880 ribu unit per tahunnya. Sedangkan suplai perumahan, yang dibangun swadaya sebanyak 150 ribu unit, dan oleh pengembang atau developer 250 ribu unit per tahun.

Estimasi kekurangan ketersediaan rumah mencapai 11,6 juta unit rumah dalam kurun waktu 20 tahun, atau kebutuhan per tahunnya 580 ribu unit. Apabila dibandingkan dengan ketersediaan rumah per tahun yang berada di kisaran 400 ribu unit, maka terjadi selisih 1,06 juta unit per tahun. Angka ini bukan jumlah yang kecil sehingga perlu intervensi pemerintah untuk menekan "gap" antara kebutuhan dan ketersediaan rumah ke masyarakat.

Salah satu cara masyarakat untuk memiliki rumah adalah dengan memanfaatkan kredit pemilikan rumah atau KPR. Hingga kuartal II tahun 2017, mayoritas konsumen di Indonesia membeli rumah dengan memanfaatkan fasilitas KPR. Angka ini terus meningkat dari triwulan sebelumnya sebesar 75 persen. Pemberian fasilitas kredit masih didominasi oleh bank pemerintah sebesar 56 persen, sedangkan pada KPA (rumah bertingkat), pemberian fasilitas kredit didominasi oleh bank swasta sebesar 54 persen.

Di mekanisme KPR, ada intervensi pemerintah melalui pemberian subsidi atau KPR subsidi, baik subsidi uang muka maupun bunga. Sementara KPR dengan mekanisme pasar, untuk yang konvensional, produk bank dengan syarat dan ketentuan yang mengikuti umum perbankan dan juga suku bunga regular yang ditetapkan oleh bank yang bersangkutan.

Selain itu, ada juga KPR Syariah, yakni KPR yang dilakukan dengan prinsip syariah; dapat menggunakan akad murabahah (jual-beli) atau musyarakah mutanaqishah (kerja sama sewa).

Kebijakan subsidi

Ada sejumlah masalah utama yang dihadapi dalam pembiayaan perumahan. Menurut Direktur Sekuritisasi dan Pembiayaan PT SMF Heliantopo,dalam edukasi jurnalis di Makassar, Sulsel, Senin (20/11), setidaknya ada empat masalah utama yang melingkupi pembiayaan perumahan.

Pertama, kemampuan atau daya beli konsumen. Kedua, ketersediaan dana. Ketiga, akses ke sumber pembiayaan. Keempat, keberlanjutan pembiayaan.

Kondisi ini terutama dialami masyarakat atau calon konsumen yang bekerja di sektor informal. Mereka tidak mempunyai akses yang baik ke sumber-sumber pembiayaan. Padahal pemerintah mempunyai target satu juta unit rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Tawaran yang diberikan pun menarik, seperti suku bunga flat 5 persen, tenor maksimal 15 tahun, maksimal KPR Rp 350 juta.

Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Sulawesi Selatan Yunus Genda mengatakan, membangun rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah tidaklah mudah. Menurut dia, banyak kendala yang dihadapi di lapangan, seperti izin yang tidak sinergis antara pusat dan daerah, harga lahan yang terus meningkat, penetapan rencana tata ruang dan wilayah yang berlarut-larut, hingga sistem pembiayaan di perbankan yang tidak mudah bagi kalangan MBR.

Bahkan, ia mengungkapkan ada rekanannya yang harus mengeluarkan uang Rp1 miliar hanya untuk perizinan. Ia mengakui, apa yang ditawarkan pemerintah, seperti suku bunga yang rendah, cukup meringankan masyarakat. Namun untuk mendapatkan program tersebut tidaklah mudah.

PT SMF yang didirikan tahun 2005 hingga 30 Juni 2017 telah menyalurkan dana ke penyalur KPR mencapai Rp32,64 triliun. Total dana itu terdiri dari penyaluran pinjaman pembiayaan sebesar Rp24,49 triliun dan sekuritisasi sebesar Rp8,15 triliun. PT SMF sendiri fungsinya sebagai penyedia pendanaan bagi perbankan dan multifinance.

Dorong bank daerah

Harus diakui, karakteristik tiap daerah berbeda. Untuk itu, dalam hal pembiayaan untuk penyaluran pendanaan ini, PT SMF pun mendorong agar bank-bank daerah mengambil peran lebih banyak.

Menurut Direktur Sekuritisasi dan Pembiayaan PT SMF Heliantopo, BPD sebagai sistem perbankan lokal dapat lebih efisien dalam memfasilitasi masyarakat yang membutuhkan rumah.  BPD juga cenderung lebih spesifik mengenal karakteristik masyarakat di daerah masing-masing, sementara tingginya kebutuhan akan perumahan merupakan pangsa pasar yang besar bagi BPD.

Bisnis pembiayaan KPR dapat menjadi salah satu produk unggulan bagi BPD dalam mengembangkan bisnis di daerahnya. PT SMF hingga kini telah bekerja sama dengan 26 BPD, di antaranya 11 BPD telah mendapatkan pembiayaan SMF, dan tercatat 15 BPD telah menandatangani nota kesepahaman dengan SMF.

Sekjen Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Edie Rizliyanto mengatakan Asbanda pemain baru di dalam skim pembiayaan ini. Terbilang baru mulai setahun yang lalu ikut menyalurkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan.

Menurut Edie Rizliyanto yang juga Dirut Bank Sumut ini, kalau sejak awal Asbanda terlibat, porsinya bakal lebih besar dari sekarang. Ia mencontohkan, Bank Sumut tahun lalu menyalurkan pembiayaan untuk 800 unit rumah, tahun ini naik menjadi 1.400 unit.

Meski tawaran yang diberikan menarik, namun pihak perbankan tetap mengedepankan asas prudensial atau kehati-hatian dalam penyalurannya. Belum maksimalnya penyerapan KPR murah ini juga karena beberapa masalah teknis.

Masalah tekni itu, seperti ketidaksiapan pengembang dalam menyiapkan rumah murah, atau tidak terpenuhinya persyaratan calon konsumen. Misalnya gaji tidak memenuhi syarat, atau ketidakjujuran calon konsumen atas syarat-syarat administrasi yang diajukan.

Edie Rizliyanto menegaskan, perbankan hanya mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah, bukan karena keinginan perbankan.  Ia pun sepakat dengan pernyataan Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional Sulawesi Maluku dan Papua Indiarto Budiwitono bahwa program ini perlu gencar diinformasikan ke publik sehingga masyarakat berpenghasilan rendah memiliki rumah layak huni.

Dan hak masyarakat untuk bertempat tinggal dan lingkungan hidup yang layak sesuai UUD 1945, pun terwujud.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement