Senin 20 Nov 2017 21:11 WIB

Gubernur Nonaktif Sultra Didakwa Rugikan Negara Rp 4,3 T

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam menjalani sidang perdana sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (20/11).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam menjalani sidang perdana sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (20/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin (20/11) menggelar sidang perdana Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam. Agenda persidangan adalah pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK terkait korupsi di balik penerbitan surat keputusan (SK) dan izin terkait sektor sumber daya alam.

Dalam surat dakwaan, Nur Alam dinilai telah mengkibatkan kerugian negara hingga Rp 4,3 triliun, sehingga didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. "Terdakwa didakwa merugikan negara sebesar Rp 4,3 triliun untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara," ujar JPU KPK Afni Carolina di Ruang Persidangan Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (20/11).

Dalam dakwaannya, JPU KPK menilai Nur Alam telah melanggar hukum karena memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB). Perbuatan Nur Alam itu mengakibatkan kerugian negara yang berakibat berkurangnya ekologis atau lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabena yang dikelola PT AHB.

Dari keuntungan yang didapatnya tersebut, Nur Alam gunakan untuk melunasi satu unit mobil BMW Z4 tipe 2.3 warna hitam. Ia juga membeli sebidang tanah dan rumah di kawasan elite seharga Rp 1,7 miliar. Semua pembelian tersebut menggunakannama Ridho Insana, pegawai negeri sipil di bawah Sekretaris Daerah Sulawesi Tenggara.

Selain itu, JPU KPK juga mendakwa Nur Alam dengan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Nur Alam dijerat pasal tersebut karena menurut JPU KPK, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 40 miliar.

Uang gratifikasi itu diperoleh Nur Alam dari Richcorp International Ltd. Menurut JPU KPK, perusahaan tersebut sengaja dibuat atas perintah Nur Alam agar rekening perusahaan digunakan untuk menampung pencairan polis asuransi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement