Selasa 14 Nov 2017 06:23 WIB

Tadinya Setnov Disebut Rp 100 Miliar, tapi Jadi Rp 60 Miliar

Rep: Dian Fath Risalah, Ali Mansur/ Red: Elba Damhuri
Terdakwa kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-E Sugiharto (kanan) dan tersangka kasus dugaan suap untuk mempengaruhi putusan perkara perdata di PN Jaksel Tarmizi (kiri) berjalan memasuki Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Kamis (9/11).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Terdakwa kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-E Sugiharto (kanan) dan tersangka kasus dugaan suap untuk mempengaruhi putusan perkara perdata di PN Jaksel Tarmizi (kiri) berjalan memasuki Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Kamis (9/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa penuntut umum (JPU) KPK kembali memutarkan rekaman suara dari Direktur Biomorf Lone LLC mendiang Johannes Marliem dalam sidang lanjutan terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan KTP-el Andi Agustinus atau Andi Narogong di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/11). Rekaman itu mengindikasikan jatah fee untuk tersangka kasus KTP-el Setya Novanto senilai Rp 60 miliar.

Dalam rekaman yang diputarkan JPU KPK terdengar percakapan proyek pengadaan KTP-el antara Marliem dengan beberapa pihak pada 2010. Di antara yang diajak bicara yakni Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Sugiharto dan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharja.

Kepada majelis hakim, Sugiharto yang dihadirkan JPU KPK sebagai saksi mengungkapkan percakapan tersebut dilakukan di ruang kerjanya, tetapi ia lupa waktu pasti perbincangan tersebut terjadi.

Sugiharto mengungkapkan kepada majelis hakim, jatah uang yang disiapkan untuk Novanto adalah Rp 100 miliar. Namun, lantaran adanya beberapa kendala dalam pengerjaan proyek KTP-el, jatah untuk Novanto menjadi Rp 60 miliar.

Saat ditanyakan mengapa harus memberikan jatah kepada Novanto, Sugiharto tak bisa menjelaskan karena dirinya hanya mendapatkan arahan dari Marliem. Sugiharto menduga uang tersebut diberikan kepada Novanto yang merupakan ketua Fraksi Partai Golkar pada saat itu yang diduga telah memuluskan anggaran proyek KTP-el di DPR.

Dalam rekaman percakapan yang diputar terungkap adanya konflik antara Marliem dan Anang terkait pembagian jatah uang proyek KTP-el yang disetorkan untuk Andi Narogong.

"Apakah pertemuan ini sebetulnya pertemuan awal untuk mencarikan solusi adanya konflik antara terdakwa dengan Anang?" tanya JPU KPK Ariawan Agustriantono di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta.

"Jadi begini, setiap Johannes ketemu saya dan tidak ada Anang, selalu nagih saya untuk minta saya tagihkan utangnya ke Anang. Tapi, kalau ketemu bertiga, diam saja, enggak ada ngomong masalah utang. Itu saja masalahnya," jawab Sugiharto.

Diketahui, perusahaan Marliem merupakan pemasok produk automated fingerprint identification systems (AFIS) merek L-1 untuk konsorsium PNRI, pelaksana proyek KTP-el. Sementara, perusahaan yang dipimpin Anang, PT Quadra Solution, menjadi salah satu anggota konsorsium PNRI.

Dalam percakapan yang diputarkan JPU KPK, terdengar inisial AN. Kepada Jaksa, Sugiharto pun menjelaskan bahwa AN adalah terdakwa Andi Narogong. Pembicaraan yang diputarkan pun tentang utang berupa jatah yang harus diberikan Anang kepada Andi terkait proyek KTP-el yang akan disetorkan ke seorang anggota DPR RI saat itu yang disebut-sebut merupakan bos dari Andi.

"Di sini ada omongan bosnya Andi," tanya Jaksa lagi. Kepada jaksa, Sugiharto langsung mengatakan bahwa bos dari Andi Narogong adalah Setya Novanto. "Bosnya Andi itu SN, Setya Novanto, dan itu (jatah uang) untuk SN," papar Sugiharto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement