Senin 13 Nov 2017 01:00 WIB

Pengungsi Rohingya dan Negara Tetangga

Khoerun Nisa Fadillah
Foto: dok. Pribadi
Khoerun Nisa Fadillah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Khoerun Nisa Fadillah *)

Zulm

Desh chailam jokon

odhikar durai dilo barbar

Hoto ma-bon zulm

goilo Arkanor opore arar

Hoto manush zulm

goilo noyoner opore arar

Jare bujai ei shob hota shei ulta mare.

Persecution

We were forced to leave our country

When our rights were taken away

Our mothers and sisters were oppressed in

Arakan,

People used to be oppressed

before naked eyes

Whomever we tell this, they beat us in turn.

(Puisi Ismail Hossain, Pengungsi di Nayapara Camp dalam Farzana, 2017: 195)

Konflik antara gerilyawan Rohingya dan Militer Myanmar yang pecah sejak Agustus lalu membuat warga sipil Rohingya kembali menjadi korban ledakan kekerasan. Rasa takut dan keinginan untuk menyelamatkan diri telah memaksa mereka untuk meninggalkan tempat tinggal dengan melintasi perbatasan menuju negara-negara tetangga. Diperkirakan hampir 15000 pengungsi Rohingya yang baru, terdampar di perbatasan (Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, 18/10/2017).

Dalam menyikapi pengungsi Rohingya, negara-negara tetangga dihadapkan pada dua pilihan, yaitu mengutamakan keamanan kemanusiaan (human security) atau keamanan nasional (national security). Kedua pilihan tersebut menjadi pertimbangan sendiri untuk menetapkan kebijakan atas pengungsi Rohingya yang datang ke negaranya. Di samping, kemungkinan adanya pertimbangan lain dalam menetapkan kebijakannya.

Memahami kebijakan yang diambil oleh negara lain akan membawa kita pada suatu pemahaman yang lebih baik tentang kebijakan yang diambil oleh negara kita sendiri. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Newton dan van Deth (2016: 2) bahwa orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang negara lain tidak akan memahami negaranya sendiri.

Dengan demikian, membandingkan kebijakan  yang diambil oleh negara lain tentu akan memberikan pelajaran tersendiri bagi kita untuk memahami dan menyikapi isu pengungsi Rohingya ini secara lebih proporsional dan terbuka. Dalam studi perbandingan politik, terdapat beberapa variable analisis perbandingan kebijakan yang dikonstruksi dalam teori analisis sistem David Easton yaitu meliputi masukan, proses, keluaran, dan umpan balik (Chilcote, 2003: 200). Dengan memperhatikan variable-variable tersebut serta pendekatan pasca perilaku yang secara khusus berorientasi pada negara-negara dunia ketiga (Chilcote, 2003: 79), maka dapat digambarkan komparasi antara kebijakan yang diambil oleh dua negara tetangga sebagai berikut.

Tetangga terdekat: Bangladesh

Bangladesh merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Myanmar. Oleh karenanya, sejak pecah konflik pertama pada 1977, para pengungsi Rohingya datang ke negara ini untuk mendapatkan perlindungan. Sebagai negara dunia ketiga yang masih berkembang, Bangladesh sebenarnya masih banyak memiliki permasalahan sosial ekonomi sendiri. Namun atas alasan kemanusiaan, Bangladesh menerima para pengungsi Rohingya dan menampungnya di wilayah perbatasan dalam tenda-tenda pengungsian (Farzana, 2017: 66).

Dalam perkembangannya, kedatangan para pengungsi Rohingya di wilayah-wilayah perbatasan Bangladesh dianggap semakin memperburuk keadaan sosial ekonomi warga setempat sehingga menimbulkan konflik antara warga setempat dengan pengungsi Rohingya. Perebutan lahan pekerjaan menjadi salah satu penyebabnya. Hal ini mendorong warga setempat untuk menuntut Pemerintah Bangladesh agar tidak lagi menerima pengungsi Rohingya. Untuk menjaga keamanan nasional, Pemerintah Bangladesh sejak 1992, merubah kebijakannya dengan melakukan pemulangan para pengungsi Rohingya dan penutupan akses bagi pengungsi Rohingya dan bantuan internasional. Dalam tataran ini, Pemerintah Bangladesh dianggap lebih mengutamakan kepentingan nasional dibandingkan alasan kemanusiaan (Yesmin, 2016: 78-79).

Apa yang terjadi pada Agustus 2017 lalu di Negara Bagian Rakhine Myanmar, membuat arus pengungsi Rohingya ke Bangladesh semakin tak terbendung. Awalnya, Pemerintah Bangladesh tetap melanjutkan kebijakan penolakan terhadap para pengungsi Rohingya. Namun atas permintaan PBB dan dukungan dunia internasional, Bangladesh akhirnya merubah sikapnya dan kembali menerima para pengungsi Rohingya di negaranya. Tercatat 507.000 Rohingya telah memasuki Bangladesh (Organisasi Internasional untuk Imigrasi, 2/10/2017).

Umpan balik dari dampak kebijakan terdahulu, tuntutan masyarakat setempat, serta dukungan dunia internasional menjadi masukan bagi Pemerintah Bangladesh untuk mengkonversinya dalam suatu keluaran berupa kebijakan terhadap para pengungsi Rohingya yang ditampung di negaranya. Kebijakan itu berupa pengaturan para pengungsi Rohingya di tenda-tenda pengungsian di wilayah perbatasan melalui pendataan dan pelarangan keluar dari wilayah pengungsian (BBC Asia, 16/9/2017). Di samping itu, Pemerintah Bangladesh juga menyediakan 2000 hektar lahan baru untuk pengungsi Rohingya (Organisasi Internasional untuk Imigrasi, 2/10/2017).

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia juga termasuk negara tetangga yang terkena dampak pengungsian orang-orang Rohingya. Sejak 2009, para pengungsi Rohingya mendarat di pantai-pantai Indonesia. Pemerintah Indonesia, awalnya menerima para pengungsi tersebut dan menempatkannya  di fasilitas-fasilitas rumah detensi imigrasi dan community housing di berbagai daerah (SUAKA, 2016: 13). Namun pada 2015, Pemerintah Indonesia menolak kapal-kapal pengungsi Rohingya (BBC Indonesia, 12/05/2015).

Dukungan terhadap pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di laut lepas, justru ditunjukan oleh para nelayan Aceh Indonesia. Tanpa memperdulikan larangan dari otoritas kelautan, nelayan Aceh bersikeras membantu para pengungsi yang terkatung-katung dengan semangat kemanusiaan (Tim Yayasan Geutanyoe, 2016: 13). Dukungan masyarakat terhadap pengungsi Rohingya juga dilakukan melalui tuntutan masyarakat terhadap Pemerintah Indonesia agar menerima dan membantu para pengungsi Rohingya. Pada akhirnya, Pemerintah Indonesia menyatakan siap menampung dengan syarat mereka ditempatkan di negara ketiga atau dipulangkan dalam waktu satu tahun (BBC Indonesia, 4/6/2015).

Umpan balik atas dampak kebijakan sebelumnya serta tuntutan dan dukungan dalam negeri maupun luar negeri telah menjadi masukan bagi Pemerintah Indonesia untuk mengkonversinya dalam sebuah kebijakan yang dikeluarkan pada 2017 ini yaitu berupa dukungan terhadap pengungsi Rohingya baik yang datang ke Indonesia maupun yang berada di Bangladesh. Hal ini sebagaimana dilansir oleh Reuters (5/9/2017) bahwa Indonesia siap membantu Bangladesh dalam mengurus pengungsi Rohingya.

Dibalik kebijakan negara tetangga

Baik Bangladesh maupun Indonesia, keduanya  menunjukan inkonsistensi dalam mengeluarkan kebijakan terhadap pengungsi Rohingya. Awalnya menerima, kemudian menolak, kemudian menerima lagi. Namun itu semua bukan tanpa pertimbangan, dalam suatu sistem pengambilan kebijakan, setiap negara selalu memperhatikan masukan berupa tuntutan dan dukungan dari dalam maupun luar negeri yang akan dikonversi dalam suatu keluaran berupa kebijakan dan dampak dari kebijakan ini pun akan menjadi umpan balik bagi penetapan kebijakan selanjutnya.

Dengan memahami kebijakan yang diambil oleh Bangladesh terhadap pengungsi Rohingya, kita akan memahami pula mengapa Indonesia mengambil sikap yang sama. Meski Indonesia tidak secara tegas menyatakan bahwa alasan penerimaan pengungsi Rohingya adalah keamanan kemanusiaan dan alasan penolakan pengungsi Rohingya adalah keamanan nasional, cukuplah alasan Bangladesh memberikan kejelasan bagi kita untuk memahami itu semua.

Awalnya, kedua negara seolah menganggap bahwa menetapkan kebijakan berarti menetapkan pilihan untuk mengutamakan keamanan nasional atau kemanusiaan. Namun pada akhirnya kedua negara pun paham, bahwa alasan keamanan nasional dan kemanusiaan bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan melainkan dua hal yang dapat berjalan beriringan. Warga negara adalah penting, tetapi ingatlah bahwa sebelum menjadi warga negara, kita semua adalah manusia dan setiap manusia mempunyai hak dasar yang harus dilindungi oleh siapapun dan dimanapun. Jika negara-negara tetangga menganggap pengungsi Rohingya adalah sebuah ancaman dan beban, lalu kepada siapa manusia-manusia itu harus meminta pertolongan.

*) Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.

    

sumber : berbagai sumber
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement