Kamis 09 Nov 2017 10:05 WIB

Anugerah Pahlawan Nasional: Kisah Sepeda Tua Prof Lafran

Profesor Lafran Pane
Foto: HMI
Profesor Lafran Pane

Republika.co.id -- Siang ini di Istana Negara  Presiden Joko Widodo akan menetapkan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai pahlawan nasional. Dan bila para kader HMI ingin menengok kesederhanaan dan keteguhan hati dalam menjalani hidup, teladan ini sudah diberikan oleh pendirinya, yakni Prof Drs Lafran Pane.

Mendiang Guru Besar Tata Negara IKIP Yogyakarta ini telah memberikan contohnya secara konkret. Lafran yang lahir di Padangsidempuan, 5 Februari 1922, sangat terkenal dengan sikap hidup yang qanaah itu.

''Saya terkesima dan terkesan dengan sikap hidup Profesor Lafran yang sangat sederhana dan selalu merasa cukup. Beliau punya intelegensia yang tinggi sekaligus orang yang sangat teguh hati. Yang paling penting lagi beliau sangat terbuka untuk dikritik serta melakukan dialog,'' kata mantan anggota DPR dan sekaligus mantan ketua umum HMI cabang Yogyakarta periode 1983-1984, Lukman Hakiem, kepada Republika.co.id.

Menurut dia, kesederhanaan hidup dari Lafran itu terlihat jelas dalam sikapnya yang selalu memilih naik sepeda ke manapun perginya di Yogyakarta. Tak peduli menjadi guru besar di berbagai universitas terkemuka dan tak peduli merasa risi bersaingan dengan mahasiswanya yang saat itu sudah banyak naik sepeda motor, Lafran tetap 'istiqamah' memilih mengayuh sepeda onthelnya. Bahkan, ketika dia diisengi oleh para mahasiswanya dengan mengerakkan sepedanya di tiang bendera di depan kampus, dia pun menanggapinya dengan sikap biasa saja.

''Ya, itulah Pak Lafran. Bahkan, ketika para alumni merasa terenyuh ingin mengganti kursi sofa rumahnya yang sudah tua, dia tetap menolaknya. Sudah tak usah, sudah cukup. Itu yang selalu beliau katakan dan terkenang sampai sekarang,'' ujar Lukman.

Selain itu, meski dia merupakan pendiri HMI, sikap Lafran terhadap organisasinya itu pun biasa saja. Dia sama sekali tak pernah merasa sebagai orang 'yang punya' HMI. Bahkan, dia bersikap santai meski sosoknya kerap tidak dikenali lagi oleh para kader mudanya. ''Sering kali setiap ada 'training' Pak Lafran hadir untuk memberikan materi pengaderan. Dan, kerap beliau tak ada yang mengenalinya. Akibatnya, sangat lazim bila dia malah tak boleh masuk ruangan. Uniknya dia tak marah, malah duduk santai di belakang. Celakanya, karena selalu memakai baju safari, Pak Lafran kadang dianggap sebagai intel yang tengah memata-matai aktivitas HMI,'' kata Lukman.

Bila dilihat dari berbagai arsip yang ada, HMI memang tak bisa lepas dari sosok Lafran Pane. Dalam sebuah artikelnya di majalah Media nomor: 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, dituliskan: “Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya.”

Jadi, bila situasi ini kemudian dibandingkan dengan situasi HMI pada masa kini, sebenarnya para kader organisasi itu sudah punya cermin besar. Cendekiawan Yudi Latif memberikan tempat khusus kepada Lafran yang meninggal pada 25 Januari 1991 itu. Menurutnya, dalam buku Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Lafran Pane merupakan generasi ketiga intelegensia Muslim Indonesia, setelah generasi pertama (Tjokroaminoto, Agus Salim, dll), generasi kedua (M Natsir, M Roem, dan Kasman Singodimedjo pada 1950-an), generasi keempat (Nurcholish Majid, Imadudin Abdurrahim, dan Djohan Efendi pada 1970-an).

Lafran yang meninggal akibat sakit itu telah secara jelas dan sangat pantas menjadi teladan. Dan kini, setelah melalui usaha dan perjuangan yang panjang, akhirnya beliau pun menyandang gelar pahlawan nasional.

                               

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement