Selasa 07 Nov 2017 17:35 WIB

Putusan MK Tolak Permohonan OC Kaligis dkk Diapresiasi

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (tengah) didampingi Majelis Hakim MK Anwar Usman (kiri) dan Manahan MP Sitompul (kanan) memimpin sidang dengan agenda pembacaan putusan uji materi UU terkait pemberian remisi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11).
Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (tengah) didampingi Majelis Hakim MK Anwar Usman (kiri) dan Manahan MP Sitompul (kanan) memimpin sidang dengan agenda pembacaan putusan uji materi UU terkait pemberian remisi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim advokasi propembatasan remisi untuk koruptor menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang diajukan oleh tiga terpidana perkara korupsi yaitu, Otto Cornelis Kaligis, Irman Gusman, dan Surya Dharma Ali.

"Putusan ini harus diapresiasi, karena putusan ini secara tidak langsung menguatkan argumentasi bahwa hak narapidana untuk memeroleh remisi bukanlah hak konstitusional, melainkan hak hukum yang hanya dapat diberikan jika narapidana memenuhi syarat yang terdapat dalam UU 12/ 1995," kata Sekretaris Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Julius Ibrani,Selasa (7/11).

Namun demikian, sambung Julius, ada satu catatan kritis yang dapat diangkat dari pertimbangan putusan MK tersebut. Yakni, Mahkamah tidak memeriksa apakah syarat dasar dari pemohon berupa berkelakuan baik telah terpenuhi atau tidak, sehingga pemohon dapat mendalilkan dirugikan karena tidak dapat remisi.

Sebelumnya, amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materi Pasal 14 ayat (1) UU Permasyarakatan terkait pemberian remisi yang diajukan oleh lima narapidana korupsi. "Amar putusan mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat di Gedung MK Jakarta, Selasa (7/11).

Mahkamah dalam pertimbangannya menyebutkan, bahwa meskipun para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonana a quo. Namun, Mahkamah tidak memiliki wewenang untuk mengadili permohonan tersebut. Dalam pertimbangannya Mahkamah menyebutkan hal yang dipersoalkan sesungguhnya adalah peraturan pelaksanaan dari UU 12/1995 yang telah didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah.

"Sehingga keberatan terhadap hal itu telah berada di luar yurisdiksi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya," ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul membacakan pertimbangan Mahkamah.

Lima narapidana kasus korupsi yang mengajukan permohonan uji materi tersebut adalah Otto Cornelis Kaligis, Suryadharma Ali, Waryono Karno, Barnabas Suebu, dan Irman Gusman. Kuasa hukum para pemohon, Muhammad Rullyandi, menyebutkan bahwa dalam ketentuan a quo tidak tertulis narapidana kasus korupsi tidak boleh mendapatkan remisi, sehingga seharusnya remisi juga menjadi hak para pemohon meskipun para pemohon adalah narapidana kasus korupsi.

Selain itu, para pemohon juga berpendapat bahwa ketentuan a quo tidak sejalan dengan pasal 34A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat Pemberian Remisi Bagi Narapidana Korupsi. Adapun, syarat dari pemberian remisi dalam ketentuan tersebut adalah narapidana akan diberikan remisi jika bersedia bekerja sama sebagaij ustice collaborator dan narapidana yang bersangkutan telah membayar lunas denda serta uang pengganti.

Dalam kasus korupsi, pihak yang berwenang untuk menentukan justice collaborator adalah penegak hukum yang dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terkait dengan hal ini, Rullyandi menyebutkan ketentuan ini jelas merugikan pihaknya, karena KPK dinilai oleh para pemohon akan bersikap subjektif dalam menentukan justice collaborator.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement