Selasa 07 Nov 2017 01:00 WIB

Menyoal Tafsir Tunggal Pancasila dalam UU Ormas

Andi Ryansyah
Foto: dok. Pribadi
Andi Ryansyah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Ryansyah *)

Kehidupan demokrasi bangsa kita saat ini terancam lumpuh. Tempo hari, DPR mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas menjadi Undang-Undang (UU). UU ini meski tujuannya sangat patriotik, yakni menjaga ideologi negara Pancasila, namun rentan menjadi alat represi dan kesewenang-wenangan pemerintah.

Sebab, isi UU itu berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan berserikat. Sekarang, pemerintah sudah bisa menafsirkan, memvonis, dan membubarkan Ormas yang menurutnya bertentangan dengan Pancasila, tanpa melalui proses pengadilan. Sebuah sikap yang subjektif otoriter. Ini mengingatkan kita pada masa gelap Orde baru (Orba).

Masa di mana rezim Orba kerap menggaungkan kembali pada Pancasila, memonopoli kebenaran tafsir Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai alat pembungkam berbagai kekuatan yang berseberangan dengan rezim. Alih-alih diterima, kepercayaan sebagian kelompok masyarakat kala itu terhadap Pancasila justru longsor. Apakah ini yang mau diulangi pemerintah sekarang? Semoga tidak!

Kita sepakat bahwa semua ormas yang anti-Pancasila layak dibubarkan. Tapi dengan cara yang tak semena-mena. Harus melalui proses pengadilan. Karena negara kita adalah negara hukum. Bukan negara kekuasaan. Ini agar tidak membuka peluang hadirnya diktator baru. Jangan dikira penolakan kita terhadap UU Ormas ini berarti kita anti Pancasila. Tidak! Kita tidak anti Pancasila! Melainkan kita ingin tegaknya demokrasi dan hukum di negeri yang kita cintai ini.

Tafsir tunggal

Dalam UU Ormas, pembubaran ormas anti-Pancasila bisa langsung dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM atau Menteri Dalam Negeri. Kita tahu kursi itu sekarang diduduki oleh politikus PDIP. Maka keputusan pembubaran Ormas jadi lebih berbau politis ketimbang yuridis.

Kita ingin bertanya kepada pemerintah, seperti apa ormas yang anti-Pancasila itu? Jawaban pemerintah tentu merupakan tafsirannya sendiri atas Pancasila. Seolah hanya pemerintah yang paham Pancasila. Dengan kata lain pemerintah dalam hal ini menjadi penafsir tunggal Pancasila. Ini tidak demokratis dan antikebinekaan. 

Sebab, pemerintah tidak mau mendengar dan memahami beragam tafsir Pancasila yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat. Pemerintah tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk membela dan menyampaikan pikirannya secara merdeka dan bertanggung jawab. Pemerintah memaksa mereka menerima tafsirnya. Pemerintah tidak membiarkan pikiran mereka berkembang. Pemerintah berusaha menghindari uji dan adu pendapat soal tafsir Pancasila dengan mereka.

Padahal, dengan cara itu justru kita akan mendapatkan tafsir terbaik bagi kepentingan dan kelanjutan hidup bersama. Selain itu, kita juga akan kaya alternatif pemikiran untuk memajukan bangsa ini. Sebaliknya, jika tafsir hanya satu, kita sendiri yang akan rugi. Sebab tawaran gagasan jadi sedikit.

Sebetulnya, pemerintah tak perlu risau dengan adanya perbedaan tafsir soal Pancasila. Sebab itu sudah ada sejak lama dan biasa-biasa saja. Jangankan kita, Bung Hatta dan Sayuti Melik pun berbeda tafsir tentang Pancasila. Bung Hatta dalam menafsirkan Pancasila, melihat sila pertama itu tauhid (Noer, 1999) dan menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain. Tidak berdiri sendiri-sendiri, berangkaian, dan ikat-mengikat (Maarif, 1985). Sedangkan Sayuti Melik memandang sila-sila dalam Pancasila tidak berhubungan satu sama lain (Noer, 1999).  Lantas sekarang pemerintah mau menafsirkan Pancasila sendiri? Hebat betul!

Pemerintah seharusnya sudah menyadari bahwa Pancasila adalah ideologi yang terbuka terhadap agama dan pemikiran-pemikiran lain yang konstruktif. UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Haji, UU Zakat, UU Wakaf, UU Perbankan Syariah, dan UU Jaminan Produk halal adalah contoh regulasi sah yang bersumber dari ajaran agama Islam. Keterbukaan ini bukan celah untuk merongrong atau mengganti Pancasila. Melainkan untuk mengisi dan mengokohkan Pancasila serta melanjutkan kehidupan bersama.

Bung Karno saat pidato memperkenalkan Pancasila pada 1 Juni 1945, berharap setiap golongan menerima Pancasila dengan catatan setiap golongan masih berhak memperjuangkan aspirasinya masing-masing dalam mengisi kemedekaan. Lebih-lebih ketika itu Bung Karno menyebut golongan Islam dan Kristen untuk merebut kemenangan pemilu dan menduduki kursi-kursi lembaga perwakilan agar ajaran agama bersangkutan dapat tertampung dalam keputusan-keputusan lembaga (Noer, 1983). Ini sekali lagi menunjukkan kepada kita bahwa Pancasila adalah ideologi yang terbuka.

Maka, tafsir tunggal yang membuat Pancasila menjadi ideologi tertutup ini sudah seharusnya ditinggalkan. Demi menjaga kehidupan demokrasi kita dan menguatkan Pancasila itu sendiri. Upaya uji materi UU Ormas ke Mahkamah Konstitutsi juga amat sangat penting dan mendesak dilakukan untuk merebut kebebasan berorganisasi. Jangan sampai hukum kita dikalahkan oleh kesewenang-wenangan penguasa! Merdeka!

*) Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement