Rabu 31 Jan 2018 00:35 WIB

Perdebatan 'Azas Contrarius' dalam UU Ormas

Negara memiliki hak mencabu ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Gedung Mahkamah Konstitus
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Gedung Mahkamah Konstitus

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Maria Rosari *)

Azas "contrarius actus" yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 2017 atau UU Ormas, menimbulkan satu perdebatan di tengah masyarakat. Dalam kamus hukum, "contrarius actus" diartikan sebagai kewenangan pejabat negara dalam menerbitkan keputusan, namun yang bersangkutan juga berwenang untuk membatalkannya.

Sama halnya dengan pencabutan status badan hukum ormas yang dilakukan oleh Pemerintah, berdasarkan dengan UU No.16 Tahun 2017 yang menetapkan Perppu No.2 Tahun 2017 tentang Ormas, tentang perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Pencabutan status badan hukum ormas yang tertuang dalam UU Ormas ini kemudian dipermasalahkan oleh sebagian orang dan beberapa ormas, dengan mengajukan permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

Bagi para pemohon, ketentuan dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b UU Ormas menimbulkan kerugian konstitusional mereka.

Hal ini kemudian diperjelas, oleh ahli Hukum Tata Negara Universitas Sultan Agung Tirtayasa Fatkhul Muin yang dihadirkan oleh para pemohon. Fatkhul dalam keterangannya menegaskan, bahwa ketentuan dalam UU Ormas terutama terkait dengan pencabutan status badan hukum ormas, memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kebebasan masyarakat Indonesia dalam berserikat.

"Ini menunjukkan adanya kehilangan identitas sebagai paham negara demokrasi yang berdasarkan kepada hukum, di mana kehilangan dua jati diri, yaitu jati diri demokrasi dan jati diri hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Fatkhul Muin.

Kendati demikian, Fatkhul membenarkan, bahwa pada hakekatnya negara memiliki hak untuk mencabut izin terhadap organisasi kemasyarakatan yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan konstitusi.

Akan tetapi proses pencabutan badan hukum ormas tersebut harus melalui sebuah proses peradilan untuk membuktikan bahwa ormas tersebut bertentangan dengan Pancasila sebelum dilakukan pencabutan atau pembubaran terhadap ormas.

Artinya, pemerintah sesungguhnya dalam pembubaran organisasi kemasyarakatan harus melalui terlebih dahulu proses peradilan administrasi sebagai dasar dalam pembubaran organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Indonesia sebagai pemerintahan yang bersifat demokrasi dan bukan oligarki, maka sepatutnya kebebasan berserikat harus dilindungi oleh negara. Oleh sebab itu, Fatkhul berpendapat bahwa negara seharusnya tidak melakukan upaya-upaya yang dapat menjadikan kebebasan berserikat dibungkam melalui berbagai macam perundang-undangan.

Negara memang harus melindungi hak-hak konstitusional warga negaranya, salah satunya terkait dengan hak berserikat dan menyatakan pendapat di muka umum sebagaimana termaktub dalam UUD 1945.

Kendati demikian, hak tersebut tentunya dibatasi oleh hak warga negara lainnya dengan tujuan untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan setiap warga negara, sebagaimana pernah dijelaskan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo ketika memberikan keterangan dalam sidang uji materi Perppu Ormas di Mahkamah Konstitusi.

Sesuai azas hukum

Terkait dengan asas "contrarius actus" ini, Philipus M. Hadjon selaku ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah menjelaskan, pemerintah selaku pejabat yang menerbitkan suatu keputusan memiliki wewenang untuk mencabut kembali keputusan tersebut, baik dalam rangka koreksi maupun dalam rangka penerapan sanski administrasi.

Sanksi administrasi merupakan bagian terpenting dalam hukum administrasi, dan menurut Philipus, tidak ada gunanya merumuskan kewajiban atau larangan bagi warga apabila ketentuan tersebut tidak bisa dipaksakan kepatuhan oleh Pemerintah.

Atas dasar itu, pemerintah berwenang mencabut keputusan apabila yang berkepentingan, yaitu pemegang surat keputusan tidak memenuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan yang dikaitkan pada keputusan tersebut.

"Penerapan sanksi administrasi adalah mutlak wewenang pemerintah tanpa terlebih dahulu harus memenuhi proses peradilan," kata Philipus.

Hal inilah yang menjadi titik sentral perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 oleh UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas, khususnya Pasal 70 yang berkaitan dengan pembubaran suatu ormas. Dalam ketentuan tersebut, bila Pemerintah hendak membubarkan ormas, maka Pemerintah harus meminta kepada kejaksaan, kemudian kejaksaan yang mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri. Setelah ada keputusan dari Pengadilan Negeri, Pemerintah kemudian baru dapat membubarkan suatu ormas.

Sementara itu, terkait dengan asas "contrarius actus" yang tertuang dalam Pasal 60 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2013 jo UU Nomor 16 Tahun 2017, ormas yang melanggar ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut akan dijatuhi sanksi administratif.

Sanksi administratif tersebut dapat berupa pencabutan surat keterangan terdaftar bagi ormas yang bukan badan hukum, dan pencabutan status badan hukum bagi ormas yang berbadan hukum. Mengingat ormas adalah subjek hukum pemegang hak dan kewajiban, maka ketika status badan hukumnya dicabut, dengan sendirinya ormas tidak lagi menjadi subjek hukum dan ormas tersebut dinyatakan bubar.

Ketentuan ini kemudian dikatakan tepat oleh Philipus karena dinilai sesuai dengan azas-azas hukum administrasi, khususnya azas penegakan hukum administrasi. Hal ini tentu saja mengingat karena sanksi administrasi adalah wewenang pemerintah dan wewenang status pencabutan badan hukum sesuai dengan asas "contrarius actus".

Apa pun kebijakan atau ketentuan yang diberlakukan oleh Pemerintah atau pun pejabat negara, sudah seharusnya tidak berpihak ataupun menguntungkan satu pihak atau kelompok tertentu. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah sudah sepatutnya bertujuan untuk melindungi semua warga negara, memberikan rasa aman dan nyaman, serta berkeadilan.

*) Pewarta Antara

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement