REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla mengatakan, polemik proyek reklamasi Teluk Jakarta diserahkan kembali kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebab, dalam undang-undangnya, pulau atau pantai berada di bawah kewenangan pemerintah daerah seperti yang tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
"Kalau reklamasi, ya tentu sisi hukumnya mempunyai agenda atau perbedaan-perbedaan, kita serahkan kembali masalah ini ke Gubernur DKI Jakarta (Anies Baswedan)," ujar Jusuf Kalla di Hotel Arya Duta, Jakarta, Kamis (2/11).
Meskipun menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jusuf Kalla memberikan catatan bahwa pulau-pulau yang sudah terlanjur dibangun tidak perlu dibongkar. "DKI (Jakarta) itu nanti harus berikan solusi, khususnya bagaimana penggunaan daripada (pulau) yang sudah ada itu," kata Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla mengatakan, dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta ini pemerintah pusat hanya memberikan arahan secara umum saja. Untuk selanjutnya, keputusan diserahkan kepada pemerintah daerah. Sebab pemerintah pusat sudah memberikan kekuasaan kepada daerah melalui otonomi daerah.
Sementara itu, Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno kompak tidak banyak bicara terkait isu reklamasi Teluk Jakarta. Keduanya masih enggan berbicara lebih jauh terkait rencana mereka menghentikan reklamasi yang dijanjikannya semasa kampanye.
Sandiaga ketika ditanya melemparkannya kepada Anies. Dia tak sedikitpun menjawab pertanyaan terkait reklamasi. "Itu Pak Anies nanti kasih pernyataan)," kata dia di Balai Kota, Kamis (2/11).
Ketika Anies ditanya perihal yang sama, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan ini masih enggan membeberkan rencananya. Dia mengatakan baru mau berbicara reklamasi setelah ada pertemuan resmi dengan DPRD DKI. Dia beralasan, tak etis jika belum menyampaikan gagasan dan visi sebagai gubernur terpilih di hadapan DPRD DKI.
Dalam beberapa kali kesempatan, Anies mengatakan, pulau reklamasi yang terlanjur dibangun akan dimanfaatkan untuk fasilitas publik. Ia menjanjikan pemanfaatan itu dipastikan untuk masyarakat luas. Dikonfirmasi terkait pengelolaan pulau reklamasi yang terlanjur dibangun, Anies masih enggan banyak bicara. "Nantilah reklamasi habis (pertemuan dengan) DPRD (DKI)," kata dia, kemarin.
Dalam perencanaan sebelumnya, sebanyak 17 pulau buatan akan dibangun di Teluk Jakarta. Sejauh ini, pulau yang telah dimulai pembangunannya dan telah berwujud daratan baru adalah Pulau C, Pulau D, dan Pulau G. Pulau C dan D dikerjakan oleh PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan PT Agung Sedayu Group) dengan izin pelaksanaan yang diterbitkan Gubernur DKI Fauzi Bowo.
Sedangkan Pulau G dikerjakan PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan PT Agung Podomoro Land) dengan izin yang dikeluarkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Pada 2014, Gubernur Basuki juga menerbitkan izin pelaksanaan untuk pulau F, H, I, dan K. Pengembang untuk pulau-pulau itu adalah PT Jakarta Propertindo, PT Taman Harapan Indah, serta kemitraan PT Jaladri Kartika dan PT Pembangunan Jaya Ancol.
Sejauh ini, baik Anies-Sandi maupun tim sinkronisasi mereka belum membeberkan soal ganti rugi terkait dana yang telah dikeluarkan para pengembang. Demikian juga, mereka belum memutuskan apakah para pengembang bakal dilibatkan semisal pulau yang telah dibangun nantinya difungsikan untuk kepentingan umum.
Terkait hal itu, Deputi I Bidang Koordinasi Infrastruktur Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Ridwan Djamaluddin mewanti-wanti agar isruh mengenai reklamasi di Teluk Jakarta tidak mengganggu minat para investor menanamkan modal di Indonesia.
"Sejauh ini masih sinkron karena yang minta moratorium dicabut adalah Pemprov DKI Jakarta. Kalau nanti memang ada perubahan di tengah jalan, itulah yang harus kita kendalikan agar tidak menimbulkan kesan tidak ada kepastian hukum di Indonesia dan tidak ada kepastian berinvestasi," kata dia, Kamis (2/10).
Ridwan mengakui, masalah reklamasi Teluk Jakarta memang sensitif. Terlebih di tengah upaya pemerintah menarik investasi internasional. Yang jelas, menurut Ketua Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, pemerintah berupaya mendongkrak investasi guna menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak menyerap tenaga kerja sehingga roda perekonomian bisa terus berputar.
Di lain pihak, Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata menyebutkan, penghentian reklamasi merupakan persoalan keberpihakan negara kepulauan kepada nelayan dan ekosistem pesisir. Menurutnya, jika hanya berpihak kepada perlindungan investasi, maka reklamasi sudah tidak layak disebut pembangunan yang berkelanjutan.
Ia mengatakan, Keppres 52/1995 dibentuk dalam rezim otoritarian. Artinya, nelayan dan masyarakat pesisir tidak menjadi bagian utama dan menjadi pusat pembangunan. “Meneruskan proyek reklamasi dengan dasar Keppres 52/1995, tidak lain adalah melanggengkan Orde Baru," kata dia.
(Ronggo Astungkoro, Tulisan diolah oleh Fitriyan Zamzami).