Jumat 27 Oct 2017 23:32 WIB

ICW Laporkan Dugaan Korupsi PT JICT ke KPK

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andi Nur Aminah
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan dugaan kasus korupsi perpanjangan kontrak pengelolaan Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Priok oleh PT Jakarta International Container Terminal (JICT) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelaporan dilakukan di gedung KPK, Jumat (27/10) siang. Laporan tersebut sudah diterima bagian pengaduan masyarakat KPK.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana sebagai salah satu perwakilan ICW yang datang mengungkapkan terdapat enam permasalahan yang dilaporkan ICW ke KPK. Dari enam permasalahan tersebut, ICW mendesak KPK segera meningkatkan status penanganan perkara ini ke penyidikan. "KPK juga harus melakukan pengusutan tuntas terhadap perkara korupsi ini," tegas Kurnia di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/10).

Adapun enam permasalahan yang dilaporkan adalah sebagai berikut:

1. Perpanjangan pemberian kuasa oleh PT Pelindo ll kepada HPH dilakukan dengan cara penunjukkan langsung tanpa melalui proses pemilihan mitra terlebih dahulu.

2. Amandemen perjanjian kerja sama tersebut juga hanya dilakukan oleh direktur Utama Pelindo ll, padahal hal ini merupakan kewenangan otoritas pelabuhan.

3. Amandemen atau perpanjangan kerja sama yang terdiri atas perjanjian pemberian kuasa, amandemen perjanjian pemegang saham, amandemen perjanjian penggunaan dan perjanjian pembayaran premium tersebut juga belum mendapat izin konsesi dari otoritas pelabuhan utama Tanjung Priok dan persetujuan RUPS dari Menteri BUMN.

4. Aset pelabuhan peti kemas Tanjung Priok ini juga seharusnya dikembalikan terlebih dahulu kepada PT Pelindo ll sesuai perjanjian awal tahun 1999. Disebutkan juga di perjanjian bahwa Pelindo II mempunyai opsi untuk mengelola sendiri pelabuhan peti kemas tersebut, namun hal itu tidak dilakukan.

5. Dalam perjanjian tahun 1999 disebutkan bahwa dua tahun sebelum kerja sama habis, seluruh aset harus dikembalikan kepada PT Pelindo H, dan klausul tersebut dilanggar.

6. Kerugian negara dalam kasus ini muncul dari penentuan upfront fee sebesar 215 juta dollar As juga dilakukan tanpa evaluasi terhadap nilai wajar JICT. Di mana harga tersebut jauh lebih murah dibanding nilai privatisasi atau perjanjian awal kerja sama pengelolaan yang dilakukan tahun 1999. Saat itu ditambahkan in kind injection sebesar 28 juta dollar AS.

Deutsche Bank sebagai financial advisor HPH, tidak bisa membuktikan bahwa nilai upfront fee yang dibayarkan HPH ke Pelindo ll sebesar 215 juta dollar AS, detara dengan porsi saham HPH di JICT sebesar 49 persen. Padahal merujuk kepada hasil valuasi nilai wajar JICT yang dilakukan oIeh FRI adalah sebesar 854,3 juta dollar AS dengan pembayaran upfront fee premium senilai 215 juta dollar AS, sehingga HPH hanya memiliki 25,2 persen saham di PT JlCT dan Pelindo il sebesar 74,7 persen.

Perbedaan besarnya pembayaran upfront fee yang ditaksir oleh dua institusi tersebut menyebabkan kurang bayarnya HPH kepada PT Pelindo II. Kurang bayar upfront fee pada akhirnya merugikan PT Pelindo II.

Hal tersebut juga dikuatkan dengan hasil audit investigasi BPK yang juga mendapatkan temuan dari akibat kurang bayar upfront fee yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,1 Triliun.

"KPK sudah memiliki data-data ini, dan di DPR juga sudah dibentuk panitia khusus (Pansus) hak angket Pelindo II dan telah memberikan rekomendasinya juga kepada KPK terkait dengan kasus ini," tambah Kurnia.

Diketahui, sejak 1999, pelabuhan peti kemas di Tanjung Priok telah dikerjasamakan pengelolaan oleh PT Pelindo II, sebagai pemegang kuasa konsesi kepada Hutchinson Holding Grup (HPH) dengan membentuk perusahaan baru yaitu PT Jakarta International Container Terminal (JlCT). Perjanjian kerja sama pengelolaan ini berlaku hingga 2019.

Pada 2014 PT Pelindo ll melakukan perpanjangan kontrak pengelolaan tersebut, sebelum masa hak pengelolaan habis. Menurut ICW, perpanjangan baru kerja sama pengelolaan pelabuhan peti kemas ini memunculkan banyak permasalahan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement