Kamis 26 Oct 2017 07:02 WIB

Soal Panglima TNI, Kedubes AS Akui Ada Kesalahan

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Elba Damhuri
Ribuan personil TNI-Polri menyimak arahan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pada kegiatan Sinergi TNI-Polri dan Masyarakat Bersatu Dalam Rangka Menjaga Kedaulatan dan Keamanan NKRI di Lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (25/10).
Foto: Antara/Dewi Fajriani
Ribuan personil TNI-Polri menyimak arahan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pada kegiatan Sinergi TNI-Polri dan Masyarakat Bersatu Dalam Rangka Menjaga Kedaulatan dan Keamanan NKRI di Lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (25/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia di Jakarta mengakui ada kesalahan administratif terkait kasus Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. "Tidak ada larangan terbang untuk Panglima TNI dan istri dan kami dengan senang hati menyambut mereka di Amerika Serikat," tulis Kedubes AS dalam pernyataan di situs resminya seperti dikutip, Rabu (25/10).

Menurut Kedubes AS, Pemerintah AS telah berusaha keras meluruskan masalah ini dengan mengambil tindakan yang tepat. Tujuannya, mencegah agar kejadian serupa tidak terulang.

Kedubes AS menyatakan, Pemerintah AS berkomitmen memastikan setiap orang yang akan melakukan perjalanan ke Negeri Paman Sam diteliti dan diperiksa secara saksama demi menjaga keamanan nasional AS. Pemerintah AS juga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Indonesia atas bantuan yang diberikan dalam menyelesaikan hal ini.

Kedubes AS dalam pernyataan itu juga memastikan AS tetap menjaga komitmen kemitraan strategis dengan Indonesia. Ini dilakukan untuk memberikan keamanan dan kemakmuran bagi kedua negara. "Kami menyesalkan ketidaknyamanan yang ditimbulkan dan kami telah menyampaikannya kepada Pemerintah Indonesia," tulis pernyataan itu.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS Heather Nauert menilai, permasalahan seputar Panglima TNI sudah selesai. Basis klaim ini adalah pertemuan antara Kedubes AS (Wakil Dubes AS Erin McKee) dan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi di kantor Kemenlu RI, Jakarta, Senin (23/10).

"Kami menyampaikan kembali penyesalan dan komitmen atas kemitraan dengan Indonesia. Ini jelas penting. Amerika Serikat telah berkomunikasi dengan Pemerintah Indonesia," katanya di laman Voice of America, Rabu (25/10).

Akan tetapi, Nauert menjelaskan, penolakan atas rencana kunjungan Panglima TNI dan istri ke Negeri Paman Sam bukan sikap Kemenlu AS. Hal ini, menurut Nauert, penting untuk dijelaskan. "Untuk hal lain, termasuk keputusan yang mereka buat sebelumnya, saya merujuk Anda ke US Customs and Border Protection," ujar Nauert.

Pernyataan Kedubes AS dan Kementerian Luar Negeri AS hadir sehari selepas pernyataan dari Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (US Department of Homeland Security/DHS). Seperti dilansir the Sydney Morning Herald, Selasa (24/10), juru bicara DHS Dave Lapan menjelaskan, Panglima TNI tidak dapat masuk ke AS karena ada keterlambatan penerbitan dokumen dari protokol keamanan AS.

Menurut dia, potensi keterlambatan sebenarnya telah disampaikan kepada Kedubes AS di Jakarta untuk kemudian diteruskan ke kantor Panglima TNI. Namun, tidak dijelaskan secara detail protokol keamanan yang dimaksud. "Kami tidak dapat menyampaikan kepada publik secara khusus perihal kasus masing-masing individu," ujar Lapan.

Setelah itu, menurut dia, masalah segera diselesaikan dengan jalan memesankan tiket penerbangan pengganti Fly Emirates yang sudah terjadwal pada pukul 17.00 WIB. "Tetapi, dia (Panglima TNI) memilih untuk tidak berangkat," kata Lapan. Lebih lanjut, Lapan mewakili DHS menyampaikan penyesalan atas ketidaknyamanan yang menimpa Panglima TNI dan istri beserta delegasi.

Sampai berita ini ditulis, belum ada konfirmasi dari Kementerian Luar Negeri RI terkait update terkini dari kasus yang menimpa Panglima TNI. Pun, pertanyaan Republika kepada Kedutaan Besar Indonesia untuk Amerika Serikat di Washington DC. Republika menanyakan perihal kelanjutan dari penyampaian nota diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri AS pada Ahad (22/10).

Saat ditemui di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (24/10), Retno berharap Panglima TNI berkomunikasi dengan Panglima Angkatan Bersenjata AS Joseph F Dunford Jr. Sebab, Dunford Jr yang mengundang Gatot menghadiri Chiefs of Defense Conference on Countering Violent Extremist Organization yang berlangsung pada 23-24 Oktober 2017.

"Karena komunikasi langsung antara dua jenderal ini sangat membantu untuk menyelesaikan masalah," ujar Retno.

Motif politik

Terlepas dari masih gelapnya alasan di balik penolakan Panglima TNI oleh Negeri Paman Sam, para analis menilai situasi saat ini telah menghadirkan keuntungan bagi sang jenderal. Apalagi, setelah pensiun pada Maret 2018, Gatot digadang-gadang akan turut serta dalam Pemilihan Presiden 2019.

"Insiden ini tidak akan merugikan citra Gatot. Sebenarnya, jika berbicara dari sisi politik, hal ini sudah pasti bakal mendongkrak citranya," kata peneliti di Center for Strategic and International Studies Indonesia Evan Laksmana seperti dilansir Voice of America, Rabu (25/10).

Menurut dia, pemasalahan yang menimpa Panglima TNI telah menjadi isu menarik dalam perpolitikan dalam negeri. Sebab, kebanyakan partai dan politikus memihak kepada Panglima TNI seraya menuntut penjelasan detail dari AS. "Mereka mengklaim bahwa insiden ini menghina Indonesia dan sebagainya," kata Evan.

Ia pun menduga ada strategi yang dimainkan Panglima TNI. Sebab, Panglima TNI baru berbicara pada Selasa (24/10) atau 48 jam setelah peristiwa mengemuka. Sementara pada Ahad (22/10), keterangan hanya disampaikan Juru Bicara TNI Mayor Jenderal TNI Wuryanto. "Ini menunjukkan bahwa dia tahu bagaimana kejadian tersebut dapat menjadi isu politik," ujar Evan.

Director for East and Southeast Asia Policy for National Security and International Policy at American Progress Brian Harding menyayangkan bahwa segala sesuatu dalam wacana publik di Indonesia sekarang dikaitkan dengan Pilpres 2019. Ini termasuk insiden yang menimpa Panglima TNI, pekan lalu.

"Dari perspektif luar negeri ada potensi gangguan hubungan diplomatik antara Indonesia dan negara-negara asing, termasuk AS," katanya.

(Editor: Muhammad Iqbal).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement