Rabu 25 Oct 2017 19:17 WIB

Refly Harun Nilai Hak Angket DPR ke KPK Salah Sasaran

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun sesaat setelah menghadiri Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR-RI tentang Perppu Ormas di Gedung Nusantara, Komplek Parlemen Senayan, Rabu, (18/10).
Foto: Republika/Singgih Wiryono
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun sesaat setelah menghadiri Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR-RI tentang Perppu Ormas di Gedung Nusantara, Komplek Parlemen Senayan, Rabu, (18/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta, 25/10 (Antara) - Pengamat hukum tata negara Refly Harun berpendapat bahwa filosofi dasar dari hak angket DPR adalah sebagai instrumen pengawasan dan keseimbangan (check and balances) dalam sistem demokrasi presidensial. Menurutnya hak angket hanya bisa ditujukan bagi lembaga eksekuti di bawah presiden.

"Memang tujuan hak angket DPR adalah untuk pengawasan dan keseimbangan antara cabang kekuasaan DPR dan cabang kekuasaan presiden," ujar Refly ketika memberikan keterangan Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (25/10).

Refly memberikan keterangan selaku ahli yang dihadirkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang uji materi UU MD3 terkait dengan ketentuan hak angket DPR terhadap KPK.

Dalam keterangannya, Refly menjelaskan sebagai instrumen pengawasan dan keseimbangan, hak angket DPR berarti hanya ditujukan bagi lembaga eksekutif di bawah presiden, atau lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan pemerintah. Hal tersebut, menurut Refly, sudah dijelaskan secara eksplisit dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 terutama dalam frasa "pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan pemerintah".

"Karena ujungnya nanti dari penggunaan hak angket adalah untuk memakzulkan," jelas Refly.

Menurut Refly, bila hak angket ditindaklanjuti, maka kemudian akan menjadi hak untuk menyatakan pendapat yang berujung pada pemakzulan. Sebelumnya, sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pengujian terkait tentang hak angket DPR yang meminta keseluruhan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menjadi konstitusional bersyarat (Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017).

Hal serupa juga diungkapkan oleh mantan wakil ketua KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Konfederasi Persatuan buruh Indonesia (KPBI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK selaku Pemohon Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017.

Kemudian beberapa pemohon perseorangan juga mengajukan permohonan serupa yang teregistrasi dengan Nomor 36/PUU-XV/2017 dan 37/PUU-XV/2017.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement