Senin 23 Oct 2017 18:18 WIB

Kekayaan Ragam Pangan Indonesia Penting Disosialisasikan

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Gita Amanda
Tumbuh High School (THS) mengenal kekayaan ragam pangan Indonesia bersama Slow Food Yogyakarta.
Foto: Wahyu Suryana/REPUBLIKA
Tumbuh High School (THS) mengenal kekayaan ragam pangan Indonesia bersama Slow Food Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Untuk memperingati Hari Pangan Sedunia 16 Oktober 2017 lalu, Slow Food Yogyakarta menggandeng Tumbuh High School (THS) mengadakan program bersama mengenalkan kekayaan ragam pangan Indonesia. Pemahaman ditebarkan dengan pengenalan berbasis edukasi praktis.

Kegiatan berlangsung 23-28 Oktober 2017, dan dimulai dengan memberikan edukasi kepada anak-anak didik Tumbuh High School di Panggunghardjo, Sewon, Bantul, DIY. Edukasi berisikan pengenalan aneka wadah dan pengemas ramah lingkungan yang mudah didapatkan seperti daun pisang dan daun kelapa.

 

Ada takir, cekentong, samir, tepong sampai aneka pembungkus makanan seperti untuk ketupat dari janur, selongsong lontong dan lain-lain. Kepala Sekolah THS, Lisa mengatakan, kegiatan ini mengajarkan generasi muda paham nenek moyang mewariskan kemasan dan wadah ecofriendly.

 

"Sekarang (wadah ecofriendly) jadi trending di dunia global demi mengurangi dampak polusi kata Lisa, Ahad (22/10).

 

Sedangkan, kegiatan kedua berlangsung pada 28 Oktober 2017 mendatang, dan akan diisi banyak kegiatan yang melibatkan anak-anak didik dan orang tua. Turut dihadirkan bazaar-bazaar, lomba pagelaran busana, melukis kipas dan lomba memasak dengan tema Eat Local atau Pangan Lokal.

 

"Pangan Lokal jadi tema besar karena saat ini pemanfaatan sumber daya alam terlalu eksplisif, yang akibatnya terjadi kelebihan produksi dan pemborosan bahan makanan secara umum di muka bumi, yang sepertiganya terbuang percuma tidak terkonsumsi," kata Amaliah dari Slow Food Yogyakarta.

 

Sementara, jutaan orang di sisi bumi lain atau sekitar 800 juta orang kelaparan. Hanya sektor pertanian ramah lingkungan yang bergantung kepada keragaman, dan menghasilkan makanan yang disesuaikan dengan lingkungan setempat atau pangan lokal.

 

Hal itu dinilai dapat melindungi nutrisi dari populasi global yang terus berkembang menuju prakiraan 12 milyar orang pada 2050. Amaliah menekankan, Slow Food sebagai gerakan akar rumput global memiliki impian sebuah dunia yang semua orang dapat mengakses dan menikmati makanan yang baik.

 

Slow Food melibatkan lebih dari 160 negara dari seluruh dunia, baik dari aktivis, koki, pakar, pemuda, petani, nelayan dan akademisi. Slow Food mencoba wujudkan sustainable quality food atau makanan berkualitas dan berkelanjutan, dan harus didapatkan setiap orang.

 

Sejak Oktober tahun ini, Slow Food dengan Menu for Change menunjukkan solusi konkret untuk konsumsi sehari-hari yang lebih berkelanjutan. Untuk tujuan ini, Hari Pangan Sedunia akan menandai dimulainya tahap partisipasi awal dengan kampanye Eat Local Challenge.

 

"Gerakan ini diharapkan memotivasi orang-orang untuk makan selama tiga pekan secara eksklusif, makanan lokal yang ada pada saat ini yang dibuat produsen skala kecil, dan untuk berbagi resep serta pengalaman mereka," kata Amaliah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement