Ahad 15 Oct 2017 10:14 WIB

Skenario Menjatuhkan Anies-Sandi di Tengah Jalan

Pasangan Cagub-Cawagub DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan - Sandiaga Uno berfoto bersama istri dan ibunda usai memberikan pidato politik usai penetapan calon terpilih Pilkada DKI Jakarta oleh KPUD di Museum Bank Indonesia, Jakarta, Jumaat (5/5) malam.
Foto: Republika/Mas Alamil Huda
Calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berkampanye di Kampung Nelayan Kelurahan Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (8/2). Dalam orasinya, Anies menegaskan komitmennya untuk menolak reklamasi Teluk Jakarta.

Skenario pertama  sudah berjalan. Salah satu janji kampanye Anies-Sandi adalah menghentikan proses reklamasi Pantai Utara Jakarta. Badan Pertanahan Nasional sudah menerbitkan Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) untuk Pulau C dan Pulau D. Penyerahan sertifikat HPL bahkan langsung dilakukan oleh Presiden Jokowi. 

Setelah itu Kemenko Maritim mencabut moratorium 17 pulau reklamasi. Semua proses tersebut dilakukan dengan cepat sebelum Anies-Sandi dilantik.

Seperti sebuah orchestra yang partiturnya telah ditulis dengan rapi, Gubernur DKI Djarot  segera mengajukan pembahasan Rancangan Perda (Raperda) pulau reklamasi hanya dua hari menjelang masa jabatannya berakhir. Rajin dan bersemangat sekali gubernur yang satu ini.

Target dari berbagai manuver pemerintah pusat dan Djarot ini jelas untuk menyelamatkan proyek  para pengembang raksasa itu. Mereka menginginkan semua proses hukum dan perizinan beres.

Dengan begitu Anies-Sandi tidak bisa berbuat apa-apa, sekaligus tidak bisa memenuhi janji kampanyenya.

Skenario kedua, Anies-Sandi diganjal secara internal. Hanya tiga  bulan sebelum meninggalkan jabatannya,  Djarot melakukan pergantian besar-besaran  di  eselon II , III dan IV Pemprov. Tidak tanggung-tanggung,   ada 174 pejabat yang dirotasi. Djarot dicurigai menempatkan para pendukungnya di berbagai posisi strategis. Para pendukung Ahok-Djarot ini bisa mengganjal berbagai program Anies-Sandi agar dan bertindak sebagai oposisi dari dalam.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, pada Pasal 71 ayat 1 dan 2 seorang pejabat tidak boleh mengambil berbagai keputusan strategis, termasuk mengganti pejabat, enam bulan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali mendapat izin Mendagri.

 Anehnya Djarot yang sudah kalah Pilkada  mendapat restu dari Mendagri melakukan rotasi.

Masalahnya sebagai pejabat baru Anies-Sandi juga terkena aturan tidak boleh melalukan pergantian pejabat setidaknya pada enam bulan pertama masa jabatannya. Untuk pejabat pimpinan tinggi aturannya malah sampai dua tahun  awal masa jabatan. Hal itu diatur dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Bisa dibayangkan apa yang bisa dilakukan Anies-Sandi harus bekerja dengan tim/pejabat pilihan  gubernur sebelumnya yang nota bene adalah lawan politiknya.

Djarot juga sudah meninggalkan bom waktu berupa APBD 2018 yang tidak mengakomodir program kerja Anies-Sandi. Salah satunya adalah janji kampanyenya berupa Dp 0 rupiah. Program tersebut hampir dipastikan tidak bisa diekseskusi pada tahun pertama pemerintahannya, kecuali setelah ada APBD perubahan pada bulan September-Oktober.

Skenario ketiga, Anies-Sandi akan menghadapi oposisi  dan tawar menawar politik yang keras dari DPRD. Partai pendukung keduanya Gerindra-PKS hanya memiliki 26 kursi dari total 100 kursi di DPRD DKI. Bila ditambah dengan 2 kursi PAN yang bergabung di putaran kedua, jumlahnya hanya 28 kursi.   DPRD bisa mengganjal berbagai program yang dirancang oleh Anies-Sandi.

Skenario keempat melalui jalur hukum. Sejumlah media menulis bahwa sehari setelah pelantikan Wagub Sandiaga Uno akan diperiksa oleh polisi dalam kasus penggelapan tanah. Pada masa kampanye dan setelah terpilih Sandi juga pernah diperiksa oleh KPK berkaitan dengan kasus korupsi yang melibatkan mantan Bendum Partai Demokrat  Nazarudin.

Tidak tertutup kemungkinan akan bermunculan berbagai pelaporan kasus yang melibatkan Anies-Sandi, baik yang bersifat pribadi (skandal perempuan dsbnya), maupun masalah hukum seperti korupsi.

Semuanya bisa dicari-cari dan diatur. Soal benar atau tidak, bukan masalah. Yang penting muncul di media.

Berbagai kasus tadi akan diblow up melalui media dan media sosial. Jangan kaget bila hari-hari mendatang isi media dan media sosial adalah berita-berita negatif tentang Anies-Sandi. Targetnya mendowngrade dan membuat tingkat kepercayaan publik menjadi rendah (public distrust).

Serangan tersebut akan sangat gencar pada masa-masa awal pemerintahan Anies-Sandi, yang entah dari mana salahnya sering disebut sebagai 100 hari pertama. Seolah bila dalam 100 hari tidak berhasil melaksanakan janji kampanye, maka pemerintahan tersebut sudah gagal.

Agar terkesan ilmiah berbagai skenario tadi akan dilengkapi dengan berbagai survei. Yakni survei secara berkala tentang tingkat kepuasan publik.

 Survei-survei ini akan dikemas sedemikian rupa, dan dibentuk menjadi publik opini yang disebar secara massif melalui media dan medsos. Targetnya pemerintahan keduanya gagal memenuhi janji kampanye dan harapan publik. Pokoknya dibandingkan dengan Ahok, mereka tidak ada apa-apanya.

Sejumlah lembaga survei yang pada Pilkada DKI 2017 terbukti menjadi konsultan atau setidaknya partisan Ahok-Djarot dipastikan akan mengambil peran utama dalam proses penggembosan Anies-Sandi. Siapa saja mereka? Anda pasti dengan mudah mengenalinya.

Hari-hari Anies-Sandi memimpin DKI tidak akan mudah. Selain harus memenuhi janji kampanye, mereka akan menghadapi sebuah masyarakat yang terbelah (divided society, divided nation).

Apapun yang keduanya lakukan,  akan dicari kesalahannya. Sikap tamak, kebencian dan kemarahan yang membara di dada,  membuat orang cerdas menjadi bodoh dan dungu.

Sebagaimana dikatakan Presiden AS ke-28 Woodrow Wilson “In Public Affair, Stupidity is more dangerous than knavery, its harder to fight.”

 

* Jurnalis senior, mantan wartawan Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement