Jumat 29 Dec 2017 09:57 WIB

Penataan PKL: Antara Jokowi dan Anies

Suasana warga yang melihat-lihat pakaian distan pedagang kaki lima (PKL) di Kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (25/12).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Suasana warga yang melihat-lihat pakaian distan pedagang kaki lima (PKL) di Kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (25/12).

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle dan Stafsus Menteri Koperasi UMKM 1998/99).

Pendekatan humanistik Anies terhadap PKL sekilas sama dengan Jokowi. Jokowi, sebagai anggota dan pengurus APKLI dulunya, sudah pernah membuktikan keinginannya memajukan PKL di Solo dan Jakarta.

Di Solo, Jokowi berhasil menata kawasan PKL dan memindahkan PKL dengan penuh keberpihakan.

Hal serupa ingin dilakukan Jokowi di pasar Tanah Abang, ketika menjadi Gubernur, dengan memindahkan PKL dari Trotoar ke Blok G.

Sayang, pemindahan ke Blok G ini dianggap kurang berhasil, karena tempatnya yang kurang pengunjung.

Heri Destrianto, dalam studinya selama 4 bulan  untuk menyusun skripsi "Analisa Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima Di Blok G Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat (Periode 2013-2014)", di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan manajemen  Institut Pertanian Bogor, 2014, menunjukkan berkurangnya pendapatan pedagang sebesar 99%.

Sebelum dipindahkan ke blok G, rata rata penghasilan mereka rp 7.112.500, setelah di Blok G hanya rp. 51.656.

Tapi, tetap saja Jokowi perlu diapresiasi karena visi dan orientasinya terhadap PKL bersifat positif.

Lalu bagaimana Anies-Sandi?

Apa yang dilakukan Anies di Tanah Abang adalah pikiran revolusioner. Pikiran ini merupakan kontra terhadap situasi di mana kaum pedagang kecil merangkak-rangkak mencari akses tempat usaha vs. situasi over supply ruang usaha buat kaum kapitalis kaya.

Upaya menambah ruang (space) bagi ratusan ribu PKL di Jakarta adalah rintisan baru yang tentunya menuntut kerja keras. Kerja keras pertama adalah bagaimana mengeluarkan kebijakan yang mengatur keseimbangan ruang usaha bagi orang orang miskin kota vs kapitalis.

Kerja keras kedua adalah bagaimana mengintegrasikan PKL dalam arsitektur perkotaan. Sehingga PKL tidak mengganggu keindahan kota, bahkan PKL bisa menjadi objek wisata.

Kerja keras ke tiga adalah bagaimana mendorong PKL sebagai "stepping stone" untuk mencetak wirausahan2 yang hebat ke depan.

Kita perlu mengapresiasi langkah Gubernur Jakarta ini. Ini adalah sebuah model baru, yang mungkin dapat dikembangkan di banyak kawasan Jakarta, maupun kota besar lainnya. Semoga berhasil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement