Oleh Sapto Andika Candra
Wartawan Republika
Warga Jakarta, Vivi (27 tahun), pernah mengeluh soal 'sepi'-nya Kota Padang. Dalam sebuah kunjungan kerjanya yang singkat ke kota yang ngetop lantaran Nasi Padang-nya, Vivi hanya sempat sekilas berkeliling kota, mencicip kuliner lokal, dan kembali menuju ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang Pariaman, kabupaten tetangga sebelah utara Kota Padang.
Keterbatasan waktu membuatnya belum sempat menjelajah sisi lain Padang. "Selain kulineran ada apa ya?" tanya Vivi kepada Republika, awal Oktober 2017.
Bagi kebanyakan manusia kota besar, khususnya Jakarta, barangkali Padang memang bukan tandingan sepadan soal gemerlap lampu kota atau mewahnya pusat perbelanjaan. Gedung-gedung di Padang juga tak banyak yang dibangun menantang awan. Desain bangunan yang tak-begitu-tinggi sebetulnya mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Padang nomor 7 tahun 2015 tentang Bangunan Gedung.
Perda tersebut juga mengatur soal desain bangunan di Kota Padang yang harus ramah gempa bumi. Kesadaran akan mitigasi bencana ini pula lah yang menyebabkan belum banyak pencakar langit di Kota Padang.
Kendati demikian, Padang sebenarnya menyimpan potensi. Di sisi muara Sungai Batau Arau, atau sisi selatan Kota Padang saat ini, terdapat sisa-sisa kota modern, yang pada zamannya mengintegrasikan pusat bisnis dan perdagangan, hunian bagi masyarakatnya, dan pusat-pusat keagamaan untuk memenuhi kebutuhan spiritual setiap individunya.
Batang Arau merupakan satu dari lima sungai di Padang. Sungai yang berhulu di pegunungan Bukit Barisan ini memiliki posisi yang strategis. Posisi ini membuat Jalan Batang Arau di masa lalu serupa dengan Jalan Thamrin-Sudirman di Jakarta, yang menjadi sentra bisnis.
Menyusuri Padang Lama, bangunan-bangunan tua yang menyimpan sejarah tentang cikal tampak tidak terurus. Sebuah bangunan berlantai dua di salah satu sudut Kota Tua Padang, yang terletak di Jalan Batang Arau, terlihat terbengkalai.
Cat hijau pada tiang-tiang penyangga bangunan tersebut sudah tampak pudar. Tiang itu juga terlihat rapuh. Cat dinding sudah mengeluas, bahkan beberapa bagian hanya menampilkan batu-bata. Bagian depan bangunan penuh dengan tanaman yang tumbuh liar.
Di sudut lain, sebuah bangunan putih dengan ukiran 1908 di bagian atasnya. Angka tersebut menunjukkan tahun pembangunan gedung bernama Padangsche Spaarbank itu.
Cat putih bangunan itu tampak mengelupas karena harus beradaptasi dengan cuaca. Begitu pula dengan besi yang terpasang pada bagian depan bangunan tampak berwarna cokelat gelap karena karat.
Gedung itu terbengkalai karena sempat tidak difungsikan selama sepuluh tahun. Namun, tahun ini, pihak swasta mulai merenovasi gedung yang menjadi hotel ini.
Ada juga bekas Gedung Geo Wehry & Co, salah satu perusahaan milik Belanda yang membuka kantornya di Padang. Gedung yang kini difungsikan sebagai gudang itu memiliki warna cat yang tidak jelas. Ada bagian yang berwarna putih namun ada bagian yang berwarna oranye.
Sebagian kondisi bangunan yang masih bisa ditemui saat ini di Padang Lama memang sudah telanjur rusak, makin rapuh termakan usia. Meski masih ada sebagian lagi yang utuh dan terawat, namun tak sedikit bangunan yang menyisakan engsel pintu berkarat, cat tembok yang mengelupas, hingga atap yang mulai roboh.
Kendati demikian, sisa-sisa kota modern tersebut menunjukkan potensi Padang Lama untuk serupa dengan Kota Tua di Jakarta yang dipenuhi gedung-gedung tua. Kota Tua di Jakarta memiliki banyak gedung tua yang terbengkalai namun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlahan melakukan rehabilitasi. Sekarang ini, Kota Tua sudah menjadi destinasi wisata di Ibu Kota.