Rabu 11 Oct 2017 22:30 WIB

Pengamat: Kompetisi Pilpres Lebih Sehat Tanpa PT

Kotak suara Pilpres (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Kotak suara Pilpres (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Igor Dirgantara menilai, penerapan ambang batas pengajuan calon presiden (presidential threshold) justru membuka peluang terjadinya politik transaksional di Pemilu serentak 2017. Sebab, Parpol akan lebih fokus berkoalisi untuk memenuhi ambang batas 20 persen kursi, dibanding mencari tokoh-tokoh potensial yang bisa diusung di Pilpres.

"Adanya PT (presidential threshold) 20 presen memang lebih mengedepankan semangat koalisi Parpol. Dikhawatirkan hal ini akan berujung pada politik transaksional," ujarnya dalam keterangan pers, Rabu (11/10).

Direktur lembaga Survei dan Polling Indonesia (SPIN) ini mengaku mendukung langkah Effendi Gozali mengajukan permohonan judicial review UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menilai, dengan PT 20-25 persen yang sudah disahkan DPR, parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu terbuka, dapil magnitude (3-10 kursi), dan dengan metode konversi suara sainte lague murni, maka hal ini akan menguntungkan Parpol pemenang Pemilu tahun 2014.

"Sekalipun tidak ada satu pun parpol yang bisa mengusung capresnya sendiri. PDIP sebagai pemenang pemilu 2014 harus berkoalisi dengan partai lain untuk mencapai PT 20 persen. Itu karena petahana bisa dengan agresif dan leluasa melakukan politik dagang sapi kepada partai pengusungnya nanti," katanya.

Ia menambahkan, dengan kondisi demikian sebaiknya semua Parpol peserta pemilu yang lolos verifikasi KPU diberikan kesempatan yang sama untuk mengusung Capres, tanpa ambang batas tertentu. "Hal ini akan menciptakan kompetisi dalam Pemilu yang sehat, dan Capres pun tidak tersandera oleh koalisi Parpol pengusung jika nanti menang di Pilpres," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement