REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung HM Prasetyo menyebut tuntutan tahun penjara kepada terdakwa perkara dugaan pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Buni Yani untuk keseimbangan.
Hal ini disampaikan Prasetyo saat rapat kerja Jaksa Agung dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (11/10). "Untuk kasus Buni Yani ini JPU telah mengajukan tuntutan pidana selama dua tahun penjara dan segera masuk. Kenapa demikian, untuk keseimbangan," ujar Prasetyo.
Menurutnya, hal ini karena kasus perkara Buni Yani terkait dengan kasus penistaaan agama oleh terpidana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
"Karena bagaimanapun kasus ini tidak dapat dilepaskan dengan kasus lain sebelumnya. Ketika terdakwa kasus yang sebelumnya diputus oleh hakim dengan dua tahun dan segera masuk itu pula yang menjadi pertimbangan jaksa bahwa harus ada keseimbangan," ujarnya.
Karena lanjut Prasetyo, pihaknya mengacu pada teori adequate atau sebab akibat. "Bahwa kasus yang satu tidak akan terjadi jika tidak ada kasus yang lainnya," ungkapnya.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut dua tahun penjara terhadap terdakwa kasus pelanggaran Pasal 31 Ayat 1 juncto Pasal 38 Ayat 1 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Tuntutan tersebut disampaikan JPU dalam sidang tuntutan yang digelar di Gedung Arsip Kota Bandung, Selasa (3/10). Tuntutan tersebut dibacajan jaksa Andi M Taufiq SH.
Selain menuntut dua tahun penjara, JPU juga menjatuhkan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan penjara. Dalam dakwannya, JPU menyatakan, tuntutan dua tahun penjara berdasarkan fakta-fakta di persidangan dan keterangan para saksi serta terdakwa. Hal-hal yang memberatkan, kata JPU, perbuatan terdakwa dapat memecehbelah umat, tidak bersikap sopan selama persidangan, dan tidak menyesali perbutannya. "Sebagai dosen terdakwa tidak memberi contoh yang baik dan berbelit-belit selama persidangan," kata JPU.